MENJADI AYAH BUNDA YANG DIRINDUKAN

  

Pada Ahad, 20 Juni 2021 pukul 08:30 Wita, Pesantren Alam Sayang Ibu (PAMSI) menggelar pendidikan parenting (ke-orangtua-an dan pengasuhan) untuk guru dan wali murid. Pendidikan parenting sudah menjadi tradisi PAMSI. Pendidikan parenting bertujuan untuk menyelaraskan pemahaman guru dan wali murid dalam hal cara terbaik mendidik anak.

Seri pendidikan parenting kali ini mengundang Irwan Rinaldi, seorang penulis buku, pemerhati isu keluarga dan pengasuhan. Ayah Irwan, demikian beliau kerap disapa, pernah sekolah di Universitas Indonesia, STF Driyarkara dan Ma’had Islamiyyah al-Hikmah. Ia aktif di Yayasan Kita dan Buah Hati, Yayasan Seto Neno, dan Yayasan Langkah Kita. Selain menulis, Ayah Irwan juga aktif mencipta lirik-lirik lagu parenting dan bahkan bermain film.

Dengan hangat, Ayah Irwan mengawali diskusi dengan berseloroh agar peserta tidak terlalu tegang. “Ini namanya ngariyeum, kumpul-kumpul saja. Jadi kita santai, ya,” kata beliau.

Menurut Ayah Irwan, bagian terpenting dalam parenting bukanlah teori, melainkan keberkahan. “Bapak ibu, kalau anak kita nakal, jangan mencari teori parenting di buku-buku. Itu buku yang ditulis oleh orang lain yang keadaannya berbeda dengan kita. Kalau anak kita nakal, saran saya, ‘lihatlah ke dalam’. Hati kita sudah dekat dengan Allah atau belum? Rumah tangga kita sudah mengutamakan berkah atau belum?”

Dengan kata pengantar itu, Ayah Irwan menekankan bahwa seorang anak sesungguhnya adalah milik Allah. Orangtua, pertama-tama, harus berpasrah pada Allah. Ayah Irwan bertanya: “pernahkah kita secara khusus membayangkan wajah anak dalam doa-doa kita, bahkan hingga tersedu-sedu, meminta pada Allah akan kebaikan-kebaikannya?”

Setelah itu, Ayah Irwan memasuki teori parenting dasar yang ia anggap sebagai sekadar buku panduan yang harus dimiliki oleh setiap orangtua. Ia menjadikan surat an-Nisa’ ayat 9 sebagai prinsip, bahwa orangtua tidak boleh meninggalkan anak dalam keadaan yang lemah secara psikologis. Ayat itu juga menegaskan bahwa yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah bertakwa pada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar. “Anak yang lemah adalah anak yang usia biologisnya lebih maju dari usia psikologisnya,” imbuh Ayah Irwan.

Ayah Irwan membagi perjalanan tumbuh kembang anak menjadi tiga bagian. Pertama, masa stimulasi amunisi, yaitu anak usia 0 – 7 tahun. Fase ini disebut juga fase “kelembutan ibu”, di mana orangtua mengisi alam bawah sadar anaknya dengan cerita-cerita moral atau sentuhan-sentuhan fisik di pipi dan pundak. Di fase ini, anak bisa menyimpan ribuan informasi sehingga orangtua harus hati-hati memperlakukan anak, harus lebih banyak mendoakan anak dan berkata baik.

Kedua, masa simulasi, yaitu usia 7 – 15 tahun. Di fase yang juga disebut fase “ketangguhan ayah” ini anak belajar menerapkan moralitas yang telah ditanam sebelumnya. Daya imajinasi anak di rentang usia tersebut sangat kuat dan secara psikologis bagus untuk mengkondisikan anak dalam perbuatan-perbuatan yang baik. Hanya saja, anak mempraktekkan moral tanpa konsekuensi, hanya latihan.

Ketiga, masa aksi, yaitu usia 15 – 21 tahun. Fase inilah yang terpenting. Di fase ini anak mulai mempraktekkan moral yang memiliki konsekuensi bila dilanggar. Di fase ini anak harus didorong untuk berani mengambil keputusan secara mandiri dan mulai belajar dari orang-orang di sekitarnya.

Menurut Ayah Irwan, bila pemenuhan kebutuhan perkembangan anak terlewatkan dan kini anak terlanjur dewasa, orangtua bisa melakukan hal-hal berikut. Pertama, orangtua harus mengubah mindset. Anak mereka di usia remaja (15 – 21 tahun) bukanlah perusuh atau pesuruh. Utang pengasuhan itu tetap bisa dilakukan dengan mulai membangun kedekatan, di mana orangtua membuka diri dan mengajak anak berdiskusi dengan hangat. Kedua, orangtua harus pandai memeriksa ketakwaan diri pada Allah. Orangtua harus perlahan memperbaiki ketakwaan itu. Ketiga, orangtua perlu memeriksa relasi suami istri, apakah dalam keadaan rukun dan bisa bekerjsama melakukan pengasuhan ideal. Keempat, orangtua perlu memeriksa relasi anak dan lingkungan sekitar (sekolah, pergaulan) dan turut menjadi sahabat dari sahabat anaknya.

Sebagai pamungkas, Ayah Irwan menekankan dua prinsip dasar lain dalam mengasuh anak, selain prinsip ketakwaan. Pertama, anak tidak butuh ayah yang sempurna; anak merindukan ayah yang menunjukkan upaya untuk berubah. Kedua, anak laki-laki harus dididik sebagai lelaki dan anak perempuan harus dididik sebagai perempuan. Insyaallah, dengan berbekal tiga prinsip dasar di atas, orangtua bisa menjadi ayah dan bunda yang dirindukan.

PAMSI: MANUSIA KHALIFAH

Sesi seminar dari Ayah Irwan berakhir pukul 11.00 Wita kemudian dilanjutkan ke sesi open mind yang diisi oleh Pengasuh PAMSI, Ustadz Jamaluddin Abdullah. Sesi ini adalah sesi integrasi antara sistem pengasuhan PAMSI dan saran pengasuhan dari Ayah Irwan. Menurut hemat sosok yang lebih nyaman dipanggil ustadz ini, peran kekhalifahan harus dipupuk sejak dini. Usia MTs-MA menjadi salah satu momen krusial memupuk dan menyiapkan anak menjalankan misi kekhalifahan mereka. Tentu bukan kekhalifahan dalam pengertian politik, melainkan dalam pengertian khazanah ilmu pengetahuan.

Anak harus ditanamkan bahwa manusia diangkat sebagai khalifah karena perhiasan berupa akal sehat (muzayyan bi al-aql). Hadis Nabi Saw yang mengumpamakan dirinya dengan nabi-nabi sebelumnya seumpama orang yang membangun rumah, bagi Ust Jamal adalah perumpamaan tidak lengkapnya Islam bila hanya mengandalkan ilmu-ilmu yang terkait dengan arkan (pilar), atau apa yang umum dikenal dengan ilmu syariat. “Pengetahuan tentang alam semesta, yang merupakan dalalah bayyinah (petunujuk yang terang benderang) atas kekuasaan dan keesaaanNya, juga tak bisa diabaikan. Pengabaian terhadap pengetahuan tentang semesta ini, seperti banyak disindir al-Quran, bisa mengakibatkan kesengsaraan di dunia dan akhirat,” tegas beliau. Sebab, selain karena bumi butuh dipelihara agar terhindar dari kerusakan dan manusia harus ditolong agar tidak binaa, al-Qur’an sendiri mengandung lebih banyak ayat-ayat saintifik daripada ayat-ayat hukum syariat yang perbandingannya sangat jauh. Bahkan cara Rasulullah membagun keimanan kaum Quraisy adalah dengan meminta mereka memikirkan alam semesta, seperti tergambar dalam ayat atau surat yang turun di awal kenabian. Bagi Ustadz Jamal, ayat-ayat semesta itu seperti  banyak dijelaskan oleh para mufassir, seharusnya mengundang kaum muslim untuk menekuni ilmu-ilmu saintifik dengan lebih giat, sebagaimana ilmu-ilmu syariat.

Ustadz yang menulis novel tafsir Kafilah al-Fatihah ini, kemudian mengutip sebuah hadis yang menjelaskan bahwa pada mulanya Allah merupakan perbendaharaan yang tersembunyi (kanz makhfiy). ‘Aku ingin dikenal (fa ahbabtu an u’rofa), maka Aku ciptakan makhluk agar aku dikenal,’ kata Allah. Menurut beliau, maksud dari ingin dikenal dalam hal ini adalah ingin ditakjubi, ingin dikagumi, ingin dipuja dan diagungkan. Cara terbaik untuk bertauhid justru adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu tentang alam semesta (sains dan teknologi) untuk melihat jejak kebesaran Allah di alam semesta.

 

PROFIL MANUSIA KHALIFAH

Berpegang dari prinsip inilah, PAMSI berusaha melahirkan generasi muslim yang menyadari tugas kekhalifahan dan menyiapkan diri untuk mewujudkannya. Dengan peran itu siswa PAMSI akan menjadikan hidupnya sebagai ibadah dengan tiga lingkar aktifitas: berzikir, berfikir dan berkarya. Untuk mencapai filosofi itu, pesantren telah menyusun serangkaian program dan strategi pendidikan yang diharapkan bisa secara efektif membangun potensi kekhalifahan santri.

Madrasah berusaha menerapkan pembelajaran yang terintegrasi dan holistik. Bunda Immy Suci Rohanya, sebagai direktur pendidikan, menjelaskan lebih lanjut mengenai makna pendekatan terintegrasi atau holistik tersebut. Pesantren ingin semua siswa tidak mengangap pembelajaran hanya jika mereka berada di dalam kelas. Pembelajaran harus menyentuh aspek-aspek kehidupan yang nyata. Ketika nanti mereka lulus dan berada di manapun, mereka siap dengan prinsip dan nilai Islam yang kokoh. Bukan seseorang yang terkaget-kaget dengan kondisi atau malah terbawa arus masyarakat yang belum tentu sejalan dengan syariat Islam.

Manusia tidak bisa hidup sendiri. Berpegang pada prinsip tersebut madrasah mendesain pembelajaran tidak seperti pembelajaran kurikulum konvensional. Madrasah menyiapkan program live in, magang, riset dan public speaking sebagai pendekatan utama dalam pembelajaran. Hal ini semata-mata agar siswa memiliki kemampuan mengenal dan menangani masalah dirinya, lingkungan alam tempat dia tinggal, hingga masalah-masalah sosial yang berkembang dalam kehidupannya. Kemampuan ini kerap disebut sebagai kemampuan abad 21. Kemampuan di mana setiap orang harus mampu berfikir kritis, kreatif, dan bersikap komunikatif dan kolaboratif.

Bunda Immy, yang juga dosen MIPA pada Universitas Mataram ini, juga menegaskan agar para guru serta orang tua memiliki satu kacamata holistik. Yaitu cara pandang yang fokus pada melihat kelebihan siswa. Hal ini akan sangat membantu madrasah dan orang tua untuk memfasilitasi pengembangan minat dan bakat siswa. Madrasah pun sangat terbuka dalam menerima usulan-usulan program atau pendekatan pembelajaran untuk mengembangkan madrasah.

Siswa juga sebisa mingkin tetap pada lingkungan belajar saat di madrasah dan di rumah. Penting bagi orang tua untuk menjaga atmosfir belajar tersebut. Atmosfir di mana siswa secara sadar menjalankan ibadah dan kebiasaan belajar tanpa suruhan lebih-lebih paksaan. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan contoh serta mengubah kebiasaan memberi perintah dengan ajakan.

Contoh dan ajakan lebih efektif dan berkesan bagi siswa dibanding suruhan dan perintah. Siswa tentu akan meniru hal-hal yang dicontohkan oleh guru dan orang tua mereka. Jika apa yang dilakukan oleh guru dan orang tua mereka baik, secara alamiah mereka akan meniru hal tersebut. Jika hal yang mereka baik, maka akan baik perilaku siswa. (Ical dan Didit)










 

Posting Komentar

0 Komentar