Bumi Hijau Sang Tuan Guru

Saya merasa beruntung dapat mengikuti acara penganugrahan Tokoh Perubahan Republika 2015, di Djakarta Teater, Tamrin, semalam (21/03/16). Ada empat orang dan satu kelompok yang didaulat sebagai Tokoh Perubahan: empat masyarakat sipil, satu pemerintah. Banyak spirit dan inspirasi baru, salah satunya saya bagikan pada catatan kecil berikut.
Namanya Tuan Guru Hasanain Juwaini. Sebagian masyarakat menggerlarinya "kyai kitab hijau." Itu lantaran perhatiannya yang sangat besar pada isu penghijauan. Belasan tahun yang lalu ia mulai melakukannya setelah “tidak tahan” atas kritkan tajam banyak LSM terhadap dunia pesantren yang, dalam bahasa mereka, "bisanya hanya menghabisi air untuk thaharah (bersuci) tetapi hampir tidak melakukan apa-apa terhadap krisis air yang melanda dunia, termasuk Lombok." 
Ia tidak marah meskipun dadanya bergetar sesak. Kritikan itu dijawab dengan diam dan kerja. “Untuk beberapa saat saya tidak aktif menghadiri pertemuan-pertemua LSM lagi, tapi diam-diam melakukan sesuatu,’ ceritanya suatu saat. Dan beberapa tahun kemudian ia datang dengan karya nyata: Puluhan hektar tanah tandus berhasil dihijaukan dan mata-air kembali bermunculan di beberapa lokasi yang tadinya menghadapi krisis air. Pertengkaran yang muncul karena kekurangan airpun berkurang drastis. Puncaknya, pengakuan Ramon Magsaysay Award Foundation yang berpusat di Manila dengan memberi perghargaan prerstisius di bidang lingkungan 2011 lalu.
Tuan Guru yang mengasuh Pesantren Nurul Haramain ini tidak berhenti. Penghargaan itu membuatnya semakin terpacu. “Kalian telah memaksa saya untuk bekerja lebih keras lagi,” ungkapnya dalam pidato penerimaan penghargaan. Dan itulah yang terjadi, sang Tuan Guru justru menancap gas lebih kencang lagi. Banyak pesantren, madrasah bahkan sekolah yang ikut bergabung dalam gerakan menanam pohon.
Pertambahan gas ini bukan karena soal penghargaan tetapi karena panggilan kerisauan terhadap kondisi hutan Indonesia. Lima puluhan juta hektar lebih tanah/hutan Indoneisa rusak sampai saat ini. “Kita tidak punya pilihan selain melanjutkan terus gerakan menanam ini,” katanya masygul. Tidak hanya itu, sampah juga menjadi perhatian besar beliau belakangan ini. Dia bahkan menggerakan santri dan masyarakat untuk membersihan banyak pantai dan pasar yang ada di Lombok. Agaknya inilah yang menjadi alasan Republika mendaulatnya sebagai salah satu Tokoh Perubahan Republika 2015.
Lebih lanjut tentang hutan. “Andaikan setiap tahun kita mampu menanam 1 miliar pohon per sejuta ha, maka kita perlu 50 tahun untuk menyelesaikan menanam saja," katanya dengan tenang, lantang dan penuh percaya diri di hadapan para menteri dan tamu yang hadir. “Itupun kalau berhasil, dan quote-and-quote, tidak dikorupsi,” katanya menyindir. Para hadirin bertepuk tangan panjang. 
"Kalau setiap pohon dihargai 25 rbu saja, maka kita perlu 25 triliun untuk menghijaukannya per tahun,” tandas beliau. "Pak Menteri Keuangan, tentu lebih bisa mnghitungnya dengan tepat." Pak Bambang yang hadir malam itu tersenyum (Barangkali. Sebab saya di belakang, tak tahu persis ekspresi beliau). Mungkin wajah beliau nampak seperti dipenuhi deretan angka nol yang tindih-menindih.
"Saya bisa pastikan pak Menteri tak punya uang sebanyak itu untuk penghijauan. Kalau pun ada pasti akan berpikir panjang, sebab menteri pendidikan pasti tidak setuju." Pak Baswedan yang merasa disebut namanya juga tertawa. (Mungkin. Sebab saya di belakang, tak tahu persis reaksi beliau). Mungkin wajah beliau nampak dipnuhi gambar ribuan sekolah yang bocor, rusak sana-sini, guru-guru yang demo minta dilunasi tunjangan sertifikasi, tindih-menindih juga…:)
Para hadirin tertawa riuh sambil memberi tepuk tangan membahana.
"Tetapi kita tidak punya pilihan lain. Atau kita termasuk makhluk mati karena tidak bisa memberi respon atas kondisi yang rusak ini.” Sang Tuan Guru kembali serius. "Jalan satu-satunya adalah dengan mendorong gerakan menanam sukarela yang melibatkan sebanyak mungkin lapisan masyarakat."
Itulah yang dilakukan Tuan Guru Hasanain yang oleh banyak pihak digadang menjadi penerus TGB, gubernur NTB saat ini. Beliau telah memulainya belasan tahun lalu. Dan beberapa tahun belakangan bersama masyarakat pesantren di NTB telah menghijaukan pululuhan hektar lahan tandus. Bertahun-tahun beliau mengawalinya sendiri, dengan sunber daya seadanya. Saat ini Pesantren Nurul Haramain setidaknya membagikan sekitar 1,5 juta benih pohon setiap tahun secara gratis. Siapa saja boleh datang untuk mengambil.
"Kita mungkin tidak bisa melarang masyarakat awam menebang pohon, tapi kita dapat mengajak mereka untuk menanam kembali setelah pohon ditebang. Inilah yang kami lakukan,” imbuhnya.
Dalam obrolan setelah selesai acara penanugerahan, Tuan Guru menyampaikan beberapa gagasan sebagi solusi mahalnya onkos dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi hutan yang rusak. “Mengapa tidak kita wajibkan setiap anak sekolah menanam pohon?” tanya beliau. "Jika dalam hitungan para ahli bahwa setiap orang membutuhkan rata-rata oksigen yang dihasilkan oleh 127 pohon dalam hidupnya maka sesungguhnya setiap orang punya hutang untuk menanam pohon sebanyak itu. Kita bisa saja mewajibkan beberapa pohon unuk setiap jenjang pendidikan, sehingga—katakankah--sampai selesai jenjang menengah, setidakbya, setiap anak dipastikan telah melunasi hutangnya atas bumi. Saya pernah mengeluarkan pendapat hukum bahwa setiap umat Islam wajib menanam 127 pohon dalam hidupnya. Karena pendapat ini saya digelari kyai kitab hijau.”
Para hadirin tertawa sambil memberi tepuk tangan meriah.
"Ini adalah Pe-eR besar Kemendikbud dan Kemenag (Ditjen Pendis). Dan saya yakin ini bisa.” Beliau menutup obrolan dengan penuh harap dan keyakinan tinggi.
Semalam, matahari benar-benar terasa terbit dari timur. Tidak, tidak hanya terbitnya, tapi mataharinya sekaligus datang dari timur.
Selamat Tuang Guru, atas inspirasinya buat Indonesia. Jaga selalu kesehatan: it’s still long way to go.[]
Ciputat, 22 Maret 2016
JA

Posting Komentar

0 Komentar