Apakah ada rasa syukur karena Kami membawa anak-anak didik Kami ke Bayan, Lombok Utara, untuk menyaksikan seluruh rangkaian prosesi Maulid Adat? Jawabannya: sangat penuh. Terlalu penuh, malah, rasa syukur Kami. Kemudian, apakah ada rasa kecewa? Sedikit, tapi insyaallah, itu bukan kekecewaan yang sampai membatalkan keterpesonaan. Kemudian, apakah ada rasa sedih? Tentu. Biasanya, kesedihan datang di akhir, di detik-detik kami (anak didik dan guru pendamping) akan berpisah dari tanah yang dirindukan.
Aura kebahagiaan benar-benar Kami rasakan menguar dari mereka, santri Aliyah Pesantren Alam Sayang Ibu, kelas X dan XI. Di mata dua puluh tiga orang putera-putri kami, antusiasme tidak absen barang sedetik. Sejak hari Rabu malam, tanggal 20 Oktober 2020, prosesi pertama Maulid Adat dimulai dengan menutu atau menumbuk beras adat, yang dilakukan oleh para perempuan Bayan berpakaian adat, yang tumbukan bambu di dasar rantok (lesung dari kayu yang panjang) menghasilkan irama-irama lokal yang magis. Malam itu juga, mereka berkeliaran mengamati proses menutu yang berlangsung di sejumlah rumah adat: Karang Salah, Karang Bajo, Bayan Timur dan Bayan Barat. Bila ada bapak-bapak yang mengenakan pakaian adat, mereka akan menebak-nebak apakah mereka bisa mewawancarainya. Malu-malu kucing mereka mendekat, memberanikan diri bertanya, tentang peristwa adat yang ada di hadapan mereka, yang menantang intelektualitas mereka, yang asing namun sangat menggoda untuk dimengerti.
Inilah dia rasa syukur yang sangat penuh dan berlebih itu. Sumber rasa syukur Kami adalah pemandangan seperti di atas, bahwa pasa santri menunjukkan rasa ingin tahu yang besar, dan dengan antusias bertanya, menggali informasi, mengorek data, dengan penuh keberanian.
***
Acara puncak, tampaknya begitu, diselenggarakan pada malam Jum’at, di dalam komplek Masjid Kuno Bayan. Masjid yang telah berdiri nyaris seribu tahun itu tidak digunakan setiap saat. Di bulan Ramadan, hanya Kiai Adat―yakni para sufi yang memiliki garis keturunan langsung dengan pembawa Islam pertama di Bayan sekaligus pendiri masjid kuno, yakni Syaikh Ghaus Abdurrazzaq―yang boleh salat tarawih di dalamnya. Pun demikian dengan prosesi Maulid Adat ini. Kiai Adat berpakaian putih-putih, duduk bersila di bagian dalam masjid, di dekat mimbar. Di hadapan mereka ada tungku dengan buhur mewangi, serta sekelompok lelaki berpakaian adat: muda dan dewasa. Jumlah mereka tiga puluhan, bertelanjang dada dan kaki, begitu gagah.
Pada prosesi puncak ini mereka, keluarga adat, harus melaksanakan memajang, yakni membentangkan kain kafan di langit-langit masjid kuno dan diikuti dengan pemasangan umbul-umbul berhias kain kafan di tiap-tiap sudut. Selama prosesi berlangsung, gamelan adat dimainkan di bagian luar masjid kuno, di sudut selatan. Aroma buhur semerbak pula ke mana-mana. Pintu masjid kuno ditutup; Kami hanya bisa mengintip prosesi itu patah-patah dari sela-sela dinding masjid yang terbuat dari bambu, sembari berdesakan.
Ya, sembari berdesakan.
Bila ada yang membuat kecewa, mungkin itu hanya kenyataan bahwa dalam prosesi Maulid Adat itu ada terlalu banyak orang. Terlampau ramai. Komplek masjid kuno dipenuhi oleh wisatawan dari berbagai daerah. Padat, pepat dan sangat ribut. Terlebih lagi setelah prosesi memajang ada pertunjukan presean di halaman masjid kuno. Manusia berpusar di sekitar arena presean: siap mengambil gambar untuk diunggah di media sosial. Keterangan warga Bayan, lazimnya pengunjung Maulid Adat bisa berjumlah ribuan. Setelah pandemi, jumlah pengunjung memang menyusut jauh, namun tetap terhitung banyak.
Komplek masjid kuno Bayan terasa padat, pepat dan ribut. Aroma rokok, aroma keringat, aroma debu yang terangkat karena terlampau banyak pasang kaki yang memijak-mijak di lokasi. Ini terasa merusak kesakralan. Kesyaduan prosesi maulid tak terlalu terasa. Gerak-gerak adat yang seharusnya memberi nuansa romantik tak bisa kami nikmati.
Memajang seharusnya hanya diterangi cahaya api. Sayangnya ada lampu listrik portabel menyelinapi pijaran api. Presean mestinya berlangsung di tengah sinar bulan purnama dan sedikit obor. Sayangnya lampu sorot ponsel pintar seluruh wisatawan menggerogoti. Para wisatawan agaknya perlu diberi pemahaman yang lebih agar jangan sampai kehadiran mereka menjadi penyebab hilangnya sakralitas proses maulid adat yang justru ingin mereka saksikan dan, tentu saja, ikut rasakan.
Para wisatawan harus ikut andil agar jangan sampai Maulid Adat Bayan menjelma dan terjebak menjadi sekadar kegiatan pariwisata. Nuansa romantik itu jangan biarkan berlalu. Keseruan Maulid Adat harus bisa dipertahankan. Jika tidak, semua akan hilang dan kehilangan, seperti sedikit terasa malam itu.
Namun syukurnya keterpesonaan anak-anak didik Kami tidak hilang. Kami mengajari mereka agar menjadi pengamat yang baik. Amati, jangan terburu-buru menilai. Itulah yang mereka lakukan selama prosesi memajang dan presean berlangsung. Mereka tidak kehilangan rasa puas.
Pun demikian dengan prosesi-prosesi selanjutnya. Mereka aktif membantu panitia untuk sekadar mengatur logistik, bahkan sebagai “pasukan kuning” yang membersihkan area sebelum dan sesudah prosesi dengan efektif. Di sela-sela itu, mereka bergerak untuk bertanya tentang apa saja pada siapa saja, memenuhi rasa ingin tahu. Mereka menghadiri permainan gamelan adat di Karang Bajo dan patuh pada instruksi pemuda adat untuk tidak ribut dan bersikap hormat di kawasan sakral. Mereka menyempatkan diri untuk duduk bersama warga, sekadar untuk berbincang sepatah dua patah kata. Mereka bahkan tidak ragu berpartisipasi dalam presean yang diselenggarakan sebagai hiburan di sore hari. Mereka berani mencoba.
Kami mengamati mereka dari kejauhan, dengan perasaan yang berbunga-bunga.
***
Perginya Kami ke Bayan dengan membawa santri kelas X dan XI Madrasah Aliyah sesungguhnya merupakan program Live In, yakni kegiatan untuk tinggal di suatu daerah selama satu sampai dua minggu, untuk mengabdi, belajar dan melakukan penelitian. Tema yang diteliti dalam program Live In level 5 ini diambil dari SDG’s; mereka meneliti konsep kesejahteraan sosial yang diperkenalkan masyarakat Bayan, praktek penggunaan energi bersih-terbarukan, konsep pembagian peran gender masyarakat adat, serta akses yang merata terhadap pendidikan. Mereka ingin tahu bagaimana Bayan mengembangkan kebudayaan untuk meningkatkan taraf hidup.
Untuk itu mereka membaur dengan masyarakat. Mereka disebar ke beberapa rumah. Mereka memiliki orangtua asuh yang harus mereka bantu setiap hari. Mereka aktif terlibat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Mereka rutin mendatangi para pemangku adat untuk mengaji budaya. Mereka mengamati hutan adat, mata air, sungai, sawah, arsitektur bangunan, selain pula mengamati perilaku, kebiasaan, hingga pekerjaan masyarakat Bayan.
Kami berangkat ke Bayan pada Selasa, 19 Oktober 2021. Di pekan pertama, anak-anak didik Kami terlibat penuh dalam acara adat. Di pekan kedua, mereka berkonsentrasi pada pengabdian dan penelitian. Pada Jumat, 29 Oktober 2021, Kami tidak menyangka mereka telah menggenggam perasaan warga Bayan. Kami tidak menyangka. Warga menangis saat mereka berpamitan: orangtua asuh, tetangga. Pengabdian mereka telah purna. Pemangku adat bahkan ingin Pesantren Alam Sayang Ibu kembali datang dan membantu memperkuat pengetahuan agama Islam yang ramah lingkungan hidup dan ramah adat.
Apakah ada rasa sedih? Ya, saat Kami harus berpisah dengan warga Bayan. Kami menjemput anak-anak didik kami ke rumah orangtua asuhnya masing-masing. Itu pengalaman yang emosional, dan Kami tidak pernah membayangkan menjemput akan menjadi aktivitas yang seemosional itu. Mereka memberi dan diberi hadiah.
Pesantren Alam Sayang Ibu akan hadir kembali di Bayan. Suatu hari nanti. Insyaallah. []
Moment Santri PAMSI ikut Membantu Persiapan Maulid Bayan
Moment Santri PAMSI mengikuti Maulid Bayan
Moment Santri PAMSI Mengikuti Kegiatan Masyarakat Bayan
Moment Perpisahan santri PAMSI dengan Masyarakat dan Orang Tua asuh
0 Komentar