Adam ‘alaihissalaam ngambek dan menangis sesugukan. Ia menolak pergi ke bumi. Wajahnya kusut, tatapannya sayu.
Pada saat yang sama Siti Hawa guling-guling di lantai ‘surga’ sambil merengek: “Please Adam, suamiku tercinta, jangan tinggalkan tempat yang indah ini. Mari kita minta maaf dan memohon dengan sangat jangan sampai kita dikeluarkan dari sini. Kita ini kan manusia pertama, pasti disayang Allah. Kita juga masih belajar menjadi manusia seperti yang Dia inginkan. Masa’ sih salah sedikit saja sudah diberi hukuman yang sangat berat. Ini tidak adil, wahai suamiku yang bijak. Please, honey!”
Adam semakin merasa benar dengan sikapnya. Kepercayaan dirinya bertambah. “Menolak perintah Allah untuk “turun” ke bumi adalah langkah yang tepat,” ia berbisik pada diri sendiri. “Dengan begitu aku bisa menikmati hari-hari indah di tempat yang indah, berdua dengan istriku tercinta, juga anak keturunanku, di hari-hari yang panjang nanti.”
***
Bayangkan andai Adam dan Siti Hawa melakukan hal di atas, apa kira-kira yang akan terjadi? Mungkinkah Allah akan mengurungkan niat-Nya? Merasa kasian pada kedua sejoli ciptaan terbaik-Nya itu lalu membiarkan mereka terus menghuni taman indah itu? Akankah Allah mengubah rencana awal-Nya dan menugaskan makhluk lain mengelola bumi?
Anak-anakku, dalam kadar dan konteks berbeda kalian mungkin pernah merasa dihukum, diabaikan, lalu dikucilkan… oleh teman, tetangga atau keluarga bahkan orang tua. Pernah, bukan?
Hidup ini memang seperti itu. Selalu ada masa-masa suram atau tidak nyaman di sela-sela kebaikan yang kita alami. Tapi masa suram biasanya hanya menyela, seperti halte dalam perjalanan, meskipun seringkali kita merasa ia lebih menghiasi perjalanan panjang hidup kita. Lalu, kita pun tidak menghiraukan banyaknya saat-saat bahagia yang kita alami. Kita lebih fokus pada hal negatif, dan mengabaikan sisi positif yang ada.
Lebih parah lagi kadang rasa “sakit” itu terasa benar-benar sebagai siksaan, kutukan. Pandangan tertutup, kegelapan menghalau cahaya. Padahal kegelapan itu seringkali tak ubahnya kain tipis yang menempel di mata. Tapi kita merasakannya seumpama tembok baja berlapis seribu. Intuisi menjadi tumpul, rasa menghitam pekat. Harapan yang seringkali menjadi satu-satunya modal tersisa pun sirna ditelan galau.
Begitupun ketika bersikap pada seseorang: pada teman, guru, orang tua atau sebuah isntitusi. Kita lebih fokus melihat sisi buruk yang sedikit — itu pun kalau benar — dan mengabaikan sisi baik yang lebih banyak.
Kita bersyukur nenek moyang kita, Adam AS, tidak demikian, tidak merengek. Ia ikhlas menerima akibat dari kesalahannya. Ia bahkan menyadari bahwa kesalahan yang ia lakukan tak lepas dari cara Tuhan mempersiapkannya menghadapi tugas berat di bumi. “Musa,’ kata Adam AS menyanggah Musa AS dalam sebuah dialog ketika meyalahkannya, “kesalahan yang kulakukan itu adalah bagian dari skenario Allah yang sudah direncanakan bahkan sebelum aku diciptakan” (Tafsiir al-Tsa’labii, I/177).
Anak-anakku, di madrasah ini, dalam pergaulan sehari-hari dengan guru dan teman, kalian akan mengalami kejadian-kejadian yang bisa membuat kalian merasa tidak nyaman, atau sakit hati. Percayalah, sebagian disengaja oleh guru untuk melatih kalian menghadapi sesuatu. Kalaupun tidak disengaja, terjadi begitu saja—katakanlah guru atau teman kalian melakukan kesalahan, karena mereka manusia—sikapilah dengan positif.
Asah intuisi,
latih kesadaran
untuk menangkap
cahaya dibalik kain hitam tipis
yang menutup
mata batin kalian.
Belajar apapun tak cukup dengan kata-kata, dengan teori atau petuah saja. Kalian harus mengalami sebuah proses secara nyata, terlibat dengan sungguh-sungguh. Real and engaging!
Di kehidupan nyata nanti, setelah kalian dewasa dan terjun di tengah masyarakat, hal-hal mengagetkan akan sering terjadi. Tetapi, bila kalian melatih diri sejak sekarang, kalian tak usah khawatir. Dunia ini tetap saja menjadi tempat yang sangat indah dan kalian tetap bisa menjadikannya “surga.”
Je Abdullah
*Diambil dari bahan Diari Quran yang disiapkan untuk siswa MSI.
0 Komentar