Lima Yuhyikum:
Al-Quran yang Membangkitkan
“Aku merasa heran melihat orang yang membaca Quran,
bagaimana dia bisa menikmati bacaannya
sementara dia tidak memahami maknanya?”
bagaimana dia bisa menikmati bacaannya
sementara dia tidak memahami maknanya?”
—Imam Ibn Jarir at-Tabari
Pengantar
Kami ingin berbagi kegiatan Diary al-Quran yang berlangsung sejak tahun pertama Madrasah Sayang Ibu (MSI) berjalan. Kami memulainya dengan cara yang sederhana dan menemukan bentuknya seperti sekarang pada tahun kedua. Berikut kami mulai dengan Pendahuluan. Semoga bermanfaat.
Pendahuluan
UNGKAPAN Imam Ibn Jarir at-Tabari di atas bisa bermakna dua: Pertama, ketakjuban bahwa Quran bisa mendatangkan kenikmatan sendiri ketika dibaca meskipun tanpa dipahami. Kedua, bisa jadi sebuah sindiran sekaligus dorongan agar ketika membaca Quran disertai dengan usaha memahaminya. Mana saja yang diambil, keduanya menyinggung satu hal penting: membaca Quran perlu disertai usaha memahami.
Quran
adalah bacaan mulia. Ia adalah hadiah teragung dan terindah bagi umat manusia.
Mereka yang menerimanya sepenuh hati akan berusaha mengikuti ajarannya, memasrahkan
pikiran, hati dan jasmani untuk menyerap pesan-pesan dan nilai-nilainya sebagai
pelita hidup.
Ini tentu
saja tidaklah mudah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai prasyarat
menjadi sosok yang berusaha sedekat mungkin dengan pesan Quran. Langkah pertama,
tentu saja, adalah memahami Quran—mempelajari apa yang Allah azza wajalla inginkan dari kita, manusia,
khususnya umat Islam.
Banyak
sekali cara mempelajari Quran. Para ulama dan cerdik pandai dari umat ini telah
menuangkan segala daya upaya menemukan cara mempelajari Quran dengan mudah dan
efektif. Bermula dari tahap yang paling awal seperti membaca teksnya sampai
pada bagaimana memahami dan menerapkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
Semua berlomba dan termotivasi untuk melaksanakan pesan baginda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam: “Yang
terbaik dari kalian adalah dia yang mempelajari Quran dan mengajarkannya” (Shohih
Bukhori, 6/192, #5027).
Buku
sederhana ini adalah salah satu usaha kecil menghadirkan cara mempelajari
pesan-pesan Quran secara bertahap dan mudah. Harapannya buku ini dapat membantu
siapa saja, baik pelajar maupun masyarakat umum, yang memiliki keinginan untuk
memahami pesan Quran, khususnya bagi pemula. Buku ini juga dimaksudkan sebagai
panduan “mencamil” hafalan ayat-ayat Quran dengan ringan, bagi mereka yang
ingin menghafal.
Secara ringkas
pendekatan buku ini diharapkan dapat mendorong dan membatu masyarakat untuk:
menyediakan waktu untuk membaca setidaknya satu ayat setiap hari (bila diserta
menghafal akan lebih baik); belajar memahami pesannya (tadabbur) dengan bantuan penjelasan singkat baik melalui ayat lain
yang terkait, atau hadits, atau keterangan ulama; Mendapat inspirasi dan
menulisnya; Dan membuat rencana aksi sebagai pengamalan dari ayat tersebut.
Mentadaburi al-Quran
Syeikh
Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya “Nata’âmal
Ma‘a l-Qur’ân"[1] menekankan pentingnya memahami
al-Quran disamping menghafal. Al-Gazali bercerita, umur sepuluh tahun dia sudah
hafal al-Quran, namun karena tidak dilatih memahami—meskipun mengerti bahasa
Arab—dia tetap tidak bisa memahami ayat-ayat yang dihafal, bahkan ketika dia
sudah berumur dewasa.
Menghafal
sangat diperlukan karena sejarah membuktikan amaliah ini ikut berperan penting
dalam menjaga kemurnian Kitab Suci ini sampai sekarang. Apalagi ketika kemajuan
teknologli sangat mendukung dan memudahkan kegiatan menghafal. Namun demikian,
dia menekankan, kegiatan memahami tidak kalah penting, bahkan mungkin lebih
penting karena terkait dengan bagaimana melaksanakan pesan-pesan Kitab Suci itu
sendiri.
Bagi
Al-Gazali masa anak-anak adalah usia produktif mempersiapkan kemampuan memahami
al-Quran. Anak-anak sudah memiliki potensi kognisi yang cukup untuk melakukan
interpretasi dan analisa. Karena itu bagi beliau, perlu menyediakan waktu
khusus melatih anak-anak memahami pesan al-Quran. Kajian-kajian modern
tentang perkembangan kognisi manusia memang menunjukkan bahwa sejak kecil—masa
sekolah dasar, misalnya—kemampuan memahami sudah tumbuh.
Para ulama
juga mendorong umat Islam agar menyediakan waktu untuk mentadaburi isi Quran. “Allah
tidak menurunkan satu ayat,” pesan Al Hasan al Basri, “kecuali Dia senang bila
dipelajari dalam konteks apa diturunkan dan apa yang diinginkan darinya” (Tafsir
al-Qôsimî, 1/23).
Ibn
al-Qayim, di bagian lain, menulis, “Membaca satu ayat disertai berpikir dan
memahaminya lebih baik dari membaca semuanya tanpa tadabur dan pemahaman. Tadabur
juga lebih baik bagi hati, lebih mengantarkan kepada keimanan dan memberi
pengalaman merasakan manisnya membaca Quran. Karena itu membaca Quran dengan
berpikir sesungguhnya adalah asal mula sehatnya jiwa… Andai orang tahu apa yang ada dalam Quran, dengan melakukan tadabur,
pastilah dia menyibukkan diri dengannya dan meninggalkan yang lain” (Lihat,
Said al-Qohtoni, ‘Uzhmatu l-Qur’ân wa Ta’zhîmuh wa Atsaruh fi n-Nufûs, 1/29).
Al-Hafidz
Az-Zarkasyi berpesan, “Quran adalah kalam Allah yang tidak diturunkan kecuali
Allah membuatnya mudah dipahami, karena itu ia perlu dipelajari dan dipahami.
Itulah mengapa para ulul albab—mereka yang berakal, yang mampu memahami
dan yang selalu berpikir—diseru dengan Quran ini” (al-Burhân fi ‘Ulûmi
l-Qur’ân, 2/145).
“Sudah menjadi maklum,’ tulis Asy-Syinqithi
sedikit keras mengingatkan, “bahwa siapapun yang tidak menyibukkan diri dengan
mentadabburi ayat-ayat Quran yang Mulia ini—dengan mendalami, memahami atau
menemukan makna dan melaksanakannya—sama saja dengan menolaknya” (Adhwâ’u
l-Bayân fî ÃŽdôhi l-Qur’ân bi l-Qur’ân, 7/257). Imam al-Qurtubi lebih tajam
lagi. Beliau mensejajarkan orang yang tidak mau mempelajari Quran dengan orang
munafiq. “Aib orang munafik itu,” kata beliau, “karena mereka menolak melakukan
tadabbur Quran—berfikir tentangnya dan merenungkan makna-maknanya” (Tafsîr
al-Qurtubî, 5/290).
Mungkinkah Memahami al-Quran Bermodalkan Terjemahan Saja?
Ya. Sangat
mungkin. Terjemahan al-Quran bukan seperti terjemahan teks biasa. Terjemahan al-Quran
tetap saja sebuah terjemahan sebuah Kitab Suci. Kandungan pesannya berbeda.
Nuansa batinnya juga berbeda. Karena itu banyak orang yang masuk Islam hanya
karena membaca terjemahan al-Quran. Tentu, yang perlu dijaga adalah kejujuran intelektual, ketulusan
dan kebersihan jiwa.
Itulah barangkali yang
terjadi pada beberapa orang yang merasakan sesuatu yang berbeda ketika membaca
terjemahan Quran. Sebut saja misalnya, Gothe, seorang fisikawan dan filosof
besar Jerman, yang bernama lengkap Johann
Wolfgang von Goethe. Dia merasakan ketakjuban yang luar biasa atas Quran.
“With our systems of
culture and civilization, we can not go beyond Islam and, as a matter of fact,
no human mind can go beyond the Qur’an…. This book will eternally remain
highly efficacious/effective"
“Dengan semua sistem budaya dan peradaban yang kita miliki,
kita tidak bisa melangkah melebihi Islam, dan faktanya, tidak ada otak manusia
yang bisa melampui Quran… Kitab ini akan tetap memberi pengaruh kuat dan
abadi.” (Letter
of Goethe to Eckermann, Sir Henry Elliott’s collection, 1865 dan WA I, 7, 35/36. Sumber: Dr. S.M.
Mohiuddin Habibi, Syed Ahsan Habibi, Prophet Muhammad (Peace Be Upon Him) in
the Bible (London: Expertini Limited, 2016, h. 355).
Di bagian lain, kisah Jeffry
Lang, seorang professor matematika di Universitas Kansas, Amerika Serikat, yang
merasa takluk dengan logika Quran saat membacanya. Dia menulis:
“You
cannot simply read the Quran, not if you take it seriously. You either have
surrendered to it already or you fight it. It attacks tenaciously, directly,
personally; it debates, criticizes, shames and challenges. From the outset it
draws the line of battle, and I was on other side.”
“Anda tidak dapat
membaca Quran sekedarnya, tidak jika Anda seorang perasa (mudah tersinggung).
Jika tidak menyerah pada kata-katanya, pilihan Anda adalah berperang
melawannya. Quran menyerang dengan tajam, langsung, personal; ia mendebat,
mengkritik, membuat malu dan menantang. Dari luar ia membuat garis perang, dan
saya dulu pernah berada di sisi bebeda.” (Sumber: Jeffrey Lang, Struggling to Surrender: Some Impression of an
American Convert to Islam, Maryland, Amana Publishing, 1995, h. 9).
Kisah Kristiane Backer
tidak kalah menarik. Mantan penyiar MTV ini menceritakan perjalan rohaninya
dalam sebuah buku, From MTV to Mecca: How
Islam Inspired My Life. Salah satu komentarnya tentang Quran dalam buku
tersebut adalah:
“The
words of the Quran all seemed strangely familiar yet so unlike anything I had
ever read before.”
“Kata-kata Quran mengejutkan,
berbeda tapi terasa dekat. Ia sama sekali tidak sama dengan buku-buku yang pernah
saya baca sebelumnya.”
Jika
mereka bisa mendapat hidayah hanya dengan membaca terjemahan Quran, mengapa
kita tidak? Bukankah kita sudah lebih dahulu dekat? Kita rajin beribadah, setidaknya
salat lima waktu, dan ibadah-ibadah lainnya. Itu adalah modal yang sangat
berharga. Tinggal kita sungguh-sungguh, sediakan waktu, pasang niat yang baik
dan benar. Berdoa agar selalu diberi petunjuk, insyaAllah kita akan
dianugerahkan-Nya hidayah dan cahaya.
“Ketika seorang hamba mendengarkan kitabullah
atau sunah Nabi SAW dengan niat (niyyah shodiqah) yang benar
seperti yang Allah inginkan,” kata Sufyan ibn ‘Uyainah, “Allah akan memberinya
pemahaman sebagaimana yang Dia inginkan, dan menciptakan cahaya dalam hatinya”
(Tafsîr al-Qurtubî, 11/176).
Tadabur dan Tafsir
Ibnu Katsir
menjelaskan tadabur sebagai proses “memahami makna kata-kata Al-Qur’an, dan
memikirkan pesan-pesan tersurat maupun yang tersirat yang ditunjukkan ayat-ayat
tersebut—suatu makna yang membuat pesan Al-Qur’an itu menjadi sempurna, dalam
bentuk isarat dan peringatan yang tak tampak dalam lafaznya. Tadabbur dilakukan
dengan menggunakan hati untuk menangkap manfaat (praktis) dengan fokus pada
pesannya, mematuhi perintahnya, serta mengambil pelajaran darinya.”
Sementara tafsir
lebih bersifat akademik dan karenanya menyasratkan beberapa kemampuan untuk
mendapatkan otoritas menafsirkan ayat-ayat Quran. Perbedaan antara kegiatan
menadaburi dan menafsir, barangkali, bisa dilihat dari perspekti cara kerja
otak kiri dan otak kanan. Otak kiri lebih teratur, terikat disiplin, dan
linier. Sementara otak kanan lebih refleklektif bahkan intuitif. Yang pertama
membatasi diri dan lurus-lurus saja, yang kedua lebih membuka diri dan
imajinatif meskipun tetap dalam “kontrol” diri.
Langkah-langkah Menulis Diari
Baca, (hafal), tadabbur dan tulis, seperti dijelaskan
tadi, adalah empat rangkaian proses yang perlu dilakukan. Keempat rangkaian itu
tidak harus dilakukan secara berurutan. Bisa saja terbalik. Misalnya, setelah
membaca ayat dan terjemahannya pembaca dapat langsung menulis apa yang
dipikirkan dalam ruang yang tersedia.
Secara
detail langkah-langkah yang dilakukan ketika membaca sebuah ayat adalah sebagai
berikut:
1.
Tahap penkondisian:
berwudlu, membaca ta’awwudz dan basmallah sepenuh hati.
2.
Membaca satu ayat beberapa
kali, kalau bisa sampai hafal atau
hampir hafal. Kalau tidak hafal tidak masalah (bagi yang belum bisa atau belum
lancar membaca Quran dalam teks Arab dapat memanfaatkan bantuan transliterasi
yang disertakan pada setiap ayat).
3. Belajar memahami dengan
membaca terjemah maknawiyah (juga terjemahan dalam bahasa Inggris) selama
kurang lebih dua atau tiga menit, atau secukupnya.
4.
Sembari membaca, tanyalah
diri sendiri: Apa pesan atau pelajaran ayat ini buat saya? Apa yang Allah
inginkan dari saya? Jangan lupa berdoa semoga Allah subhanahuwata’ala memberi ilham dalam memahami ayat tersebut. (Doa
dapat dipanjatkan dalam bahasa Arab atau bahasa sendiri sesuai kata hati Anda.
Adapun contoh-contoh doa dalam bahasa Arab dapat dilihat pada Lampiran).
5. Menulis ulang ayat yang
sedang dibaca/dihafal dengan tangan sendiri pada ruang kosong pertama yang
tersedia.
6.
Untuk dapat memahami, langkah
pertama yang cukup efektif adalah mencari kata atau kalimat kunci ayat yang sedang
dibaca. Jangan berhenti, jangan juga pindah ke ayat berikutnya sampai Anda
merasa menemukan kata atau kalimat kuncinya.
7.
Jika sudah menemukan, tulislah
kata atau kalimat kunci tersebut dengan pensil atau pena pada bagian Kata Kunci & Goresan. (Penulis hanya
mencantumkan satu kata kunci, maka Anda, pembaca yang budiman, dapat menuliskan
kata kunci atau ide pokok lain pada ruang pertama yang tersedia).
8.
Bisa jadi, saat proses 1-7
di atas Anda lalui ada sesuatu yang terlintas dalam pikiran yang secara sekilas
berkaitan. Jika itu terjadi maka segera tulis. Jadi, pembaca bisa menulis apa
saja yang dirasa terkait pada ruang kosong pertama.
9.
Jeda
sejenak, tarik nafas dan lepaskan. Selanjutnya bacalah bagian Tadabur dengan tenang. Resapi pesannya,
kaitkan dengan apa yang Anda dapatkan ketika membaca ayat atau terjemahannya. Untuk
dimaklumi, penulis hanya fokus pada satu pesan ayat dalam Tadabbur, maka pembaca
memiliki kesempatan mendapati pesan lain selain yang terdapat dalam bagian Tadabur.
10.
Tulisalah ide atau inspirasi
yang pembaca dapatkan tersebut pada ruang kosong kedua, yaitu pada bagian Inspirasi dan Aksi yang terdapat pada bagian
akhir setiap diari.
11.
Menutup kegiatan diari
dengan memuji Allah SWT dan bersyukur kepada-Nya dengan membaca tahmid dan kalimatusysyukr lalu berdoa dengan khusyuk.
Tujuan
Gerakan Diari Quran ini dimaksudkan untuk:
· Menciptakan kebiasaan membaca—dan
sebisanya menghafal—serta mempelajari pesan Quran, paling tidak satu ayat satu
hari.
·
Menulis teks ayat al-Qur’an
yang dibaca atau sudah dihafal dengan tangan sendiri.
·
Memasyarakatkan gerakan memahami al-Quran secara teratur dan berkelanjutan agar setiap orang memiliki catatan
harian yang berisi kesan atau pesan yang diperoleh setelah mempelajari sebuah
ayat.
·
Menginpirasi diri untuk
mepelajari al-Quran lebih dalam dengan membaca kitab-kitab tafsir yang ditulis
oleh para ulama baik yang berupa terjemahan dari bahasa Arab atau Inggris maupun
tulisan ulama Indonesia sendiri.
· Menciptakan keseimbangan
jiwa dan raga agar hidup terasa lebih bermakna dengan harapan mendapat pancaran
sinar dari Allah SWT, meski hanya serpihannya, dan syafaat dari Rasulullah saw.
Dan, ini, yang tidak kalah penting: sebagai bagian dari cara kami "mengempung" peserta didik agar kebiasaan membaca dan melatih kemampuan menganalisa mereka tumbuh. Jadi, mengajipun dapat dimanfaatkan untuk membangun tradisi literasi yang saat ini menjadi salah satu persoalan bangsa Indonesia.
Dan, ini, yang tidak kalah penting: sebagai bagian dari cara kami "mengempung" peserta didik agar kebiasaan membaca dan melatih kemampuan menganalisa mereka tumbuh. Jadi, mengajipun dapat dimanfaatkan untuk membangun tradisi literasi yang saat ini menjadi salah satu persoalan bangsa Indonesia.
Untuk membantu pembaca memahami pesan ringkas Quran pada tahap-tahap awal ini, penyusun menyertakan terjemahan maknawiyah setiap ayat. Sebagai tambahan, disertakan juga terjemahan dalam bahasa Inggris yang dipilih dari salah satu terjemahan bahasa Inggris yang sudah banyak beredar di dunia internasional: karya Abdullah Yusuf Ali (YA), Ali Unal (AU), Marmaduke Pickthall (MP), Mufti Taqi Usmani (TU), Muhammad Asad (MA) atau Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Muhammad Muhsin Khan (HK).
Terjemahan Inggris ini
dimaksudkan untuk Anda yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris, atau bisa
dijadikan sebagai bahan belajar bahasa Inggris sambil mengaji. Seru, kan? J
[1] Telah diterjemahkan dengan judul “Berdialog
dengan Al-Quran, Memahami Pesan Kitab Suci dalam Kehidupan Masa." Mizan:
Bandung, 1996.
0 Komentar