Di Desa Tanjung Luar, Lombok Timur. Sejak 15 September 2025, 28 santri Kelas 9 MTs Sayang Ibu diterjunkan. Jauh dari gemerlap gawai dan hiruk pikuk kota, mereka dipaksa hidup lima hari empat malam di tengah masyarakat pesisir. Ini bukan tamasya sekolah. Ini adalah eksekusi mental yang menuntut mereka menanggalkan segala kemudahan. Targetnya yakni menemukan dan mengambil pelajaran hidup paling berharga yang tak mungkin didapat dari buku pelajaran. Mereka hadir bukan buat liburan, tetapi sebagai anak angkat yang siap merasakan langsung kerasnya kehidupan di sana.
![]() |
| Dende kelas 9 MTs Sayang Ibu mewawancarai nelayan di pesisir Tanjung Luar saat Live in Fase 3 (Foto: PAMSI) |
Rutinitas harian para santri ini di Tanjung Luar
langsung berubah total. Pagi menusuk tulang di pesisir, dan kegiatan pertama
mereka sudah pasti bukan memikirkan PR. Mereka wajib bangun, dan langsung
ikut serta membantu pekerjaan orang tua angkatnya. Inilah kurikulum empati dan
tanggung jawab yang paling brutal. Jika bapaknya nelayan, mereka harus
siap-siap berhadapan dengan aroma amis dan logistik melaut yang keras. Jika
ibunya pedagang, mereka berjuang melawan subuh di pasar sebelum matahari
terbit. Mereka harus menelan mentah-mentah ritme hidup yang selama ini hanya
mereka baca di teori. Momen ini menjadi kunci utama agar mereka benar-benar menghargai
arti kerja keras yang selama ini nihil dari praktik.
Tanjung Luar, sentra perikanan itu, menjadi laboratorium
alam yang sangat kompleks untuk dieksplorasi. Anak-anak Kelas 9 ini turun
langsung untuk eksplorasi ekosistem pesisir, laut, dan muara. Rasa ingin tahu
mereka terpusat pada aktivitas masyarakat di Pasar Tanjung Luar. Mereka mengumpulkan
data soal jenis-jenis hasil laut, terutama ikan Hiu, dan menanyakan dengan mata
kepala sendiri jalur perdagangannya.
![]() |
| Seorang nelayan di Tanjung Luar menangkap ikan hiu untuk dijual (Foto: PAMSI) |
Kegiatan observasi ini tak berhenti di laut.
Berlanjut ke ekosistem muara yang unik, pelajaran ini memaksa mereka berpikir
kritis soal isu konservasi versus kebutuhan ekonomi masyarakat, sebuah dilema
yang langsung berhubungan dengan target Sustainable Development Goals
(SDGs). Mereka didorong untuk menganalisis masalah-masalah ini langsung di
lapangan.
Setelah lelah menghadapi air laut, tugas berikutnya
bergeser ke darat utuk mengobservasi tambak garam di Desa Pijot. Di bawah terik
matahari Lombok Timur yang menyengat, mereka berkesempatan menyaksikan langsung
proses air laut berubah menjadi butiran garam, dari garam kasar hingga halus.
Mereka menyadari bahwa proses membuat garam adalah pekerjaan yang menuntut
kesabaran, waktu lama, dan ketelitian yang brutal. Mereka tak cuma melihat,
tetapi juga wawancara langsung dengan petani dan pemilik tambak, tentang siklus
alam yang kejam dan kekuatan pasar yang menekan hasil panen. Ini adalah
pelajaran nyata tentang rantai pasok dari bahan yang selalu ada di dapur
mereka.
![]() |
| Tumpukan garam hasil dari tambak garam di Desa Pijot sekitar lokasi Live in Fase 3 (Foto: PAMSI) |
Potensi lokal lainnya diulik melalui Kunjungan ke
Tambak Udang BUMDes Tanjung Luar dan Tempat Produksi Dodol Rumput Laut.
Kunjungan ke tambak udang ini edukatif banget, karena mereka diajak melihat
proses budidaya, dari pemilihan benih sampai perawatan kualitas air. Sementara
itu, melihat proses pembuatan dodol rumput laut menunjukkan betapa kreatifnya
masyarakat dalam mengolah hasil laut menjadi komoditas bernilai tinggi.
Malam harinya, setelah semua eksplorasi selesai,
giliran kegiatan budaya dan spiritual. Anak-anak diajak Mengidentifikasi
Keragaman Budaya, termasuk dialek lokal yang unik dan menganalisis nilai-nilai
budaya yang tercermin dari bentuk rumah warga. Setelah salat Magrib, peran
mereka berubah drastis menjadi guru. Santri-santri MTs Sayang Ibu mengajar di
Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) setempat, membantu adik-adik kecil membaca Iqra
dan Al-Qur’an. Ini adalah momen pengabdian sosial yang paling menyentuh hati.
“Kami selalu tegaskan bahwa Live In adalah laboratorium kehidupan nyata. Melalui proses hidup bersama orang tua asuh, anak-anak berlajar menghargai setiap denyut nadi kebudayaan yang ada di masyarakat setempat. Mereka harus turun langsung untuk memahami dan menghormati kearifan lokal , karena pelajaran hidup yang sejati selalu ditemukan di luar kelas, di tengah-tengah masyarakat yang sederhana namun kaya,” tutur UstadzJamaluddin Abdullah, Pimpinan Pesantren Alam Sayang Ibu.
Program Live In Level 3
ini akhirnya ditutup dengan kewajiban mencatat. Kerasnya ombak, panasnya tambak
garam, dilema ikan hiu, hingga momen mengajar di musala warga, semua itu wajib
dicatat. Ini bukan sekadar laporan, tetapi sebuah pengakuan tertulis atas
realitas yang mereka jalani, dikenang selamanya hingga menjadi memori baik bagi
Nune Dende. Mereka pulang bukan dengan tubuh yang segar, melainkan
dengan beban apresiasi yang mendalam terhadap potensi lokal dan bekal empati
yang kini menusuk ke hati. Tanjung Luar telah menjadi medan pertempuran mental
yang sesungguhnya.

.jpeg)
.jpeg)





0 Komentar