KE BAYAN, NUNE DENDE SELAMI MAULID ADAT SAMPAI KETEMU MENTERI

Kisah Petualangan Kelas 10 MA Sayang Ibu Menyentuh Jantung Budaya Bayan 

Nune kelas 10 MA Sayang Ibu mewawancarai Mamiq Gedarip saat Live in Fase 4 di Bayan (Foto: PAMSI) 


Siapa bilang pengabdian di masyarakat cuma buat anak kuliahan? Di Sayang Ibu, namanya Live In, dan ini benar-benar Mini KKN versi Madrasah Aliyah yang tak kalah seru! Konsepnya jelas, anak-anak dilepas ke daerah tertentu untuk nyemplung dan mengabdi langsung di tengah masyarakat. Totalnya ada lima Fase yang harus dilewati. Nah, untuk level Aliyah, mereka kebagian Fase 4 ke Bayan yang pastinya bakal jadi tantangan paling intensif!

Live In Fase 4 yang diikuti oleh anak-anak Kelas 10 MA Sayang Ibu di Bayan, Lombok Utara, itu bukan sekadar program madrasah biasa. Mereka sengaja diboyong jauh-jauh dari hiruk pikuk kota dan gemerlap gawai untuk benar-benar hidup bersama warga lokal Suku Sasak di kaki Gunung Rinjani. Ini semacam program peleburan diri yang intensif. Tujuan utamanya simpel: mengambil pelajaran paling berharga tentang kehidupan yang tak akan ditemukan di buku atau internet. Mereka datang bukan sebagai turis, tetapi sebagai anak angkat yang siap merasakan langsung denyut nadi kebudayaan yang kental.

Pagi-pagi buta di Bayan, para santri ini bangun. Aktivitas pertama mereka jelas bukan mengerjakan tugas matematika. Mereka wajib langsung ikut dan bantu pekerjaan orang tua angkatnya. Inilah kurikulum empati dan tanggung jawab yang paling efektif. Siapa pun orang tua asuhnya, di situlah mereka belajar. Intinya, mereka harus merasakan langsung ritme dan tantangan hidup sehari-hari di desa. Bahkan, mereka punya agenda olahraga jalan pagi ke sawah tiap hari, yang tak cuma bikin badan sehat, tetapi juga mata fresh melihat alam yang masih asri.

Fase Live In ini benar-benar dimanfaatkan untuk observasi budaya masyarakat adat Bayan. Mereka banyak banget belajar tentang kebiasaan dan keseharian warga lokal. Anak-anak ini tak cuma nongkrong, tetapi aktif mengamati dan mencatat bagaimana interaksi sosial, tata krama, dan pola hidup masyarakat adat itu berjalan. Ini adalah pelajaran sosiologi dan antropologi yang langsung dari sumbernya.

Klimaksnya itu ada di momen Maulid Adat Bayan yang terkenal. Anak-anak MA Sayang Ibu ini beruntung bisa ikut langsung dalam perayaan sakral dan meriah ini. Mereka melihat bagaimana tradisi Maulid Adat ini dijalankan, sebuah ritual yang penuh filosofi dan makna sejarah.

Saking pentingnya acara ini, mereka bahkan dapat kesempatan langka untuk bertemu langsung dengan Menteri Fadli Zon yang turut hadir dalam perayaan Maulid Adat Bayan! Ini adalah momen politik dan budaya yang tak terduga, memberikan pengalaman dan wawasan baru bagi para siswa

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon disembeq saat mengunjungi Bayan (Foto: PAMSI) 

Tugas utama observasi mereka di Bayan memang berat. Mereka harus mengulik beberapa isu penting langsung dari tetua adat sampai pihak terkait melalui wawancara mendalam. Topiknya meliputi; Peribahasa di Bayan (untuk tahu kearifan lokal dalam bahasa), Peran perempuan dalam Maulid Adat (melihat posisi dan kontribusi kaum ibu dalam ritual), Perubahan iklim (melihat dampaknya ke pola tanam dan kehidupan sehari-hari), Makanan sajian Maulid (mempelajari filosofi di balik setiap hidangan tradisional). 

Namun, ruh dari pengabdian dan sejarah tak bisa dipisahkan. Dalam balutan semangat gotong royong, para siswa berpartisipasi dalam Kerja Bakti di Masjid Kuno Bayan. Kegiatan ini bukan hanya soal bersih-bersih biasa, melainkan sebuah penghormatan tulus kepada salah satu situs keagamaan dan kebudayaan tertua di Lombok. Mereka diajari bahwa menjaga warisan fisik leluhur adalah tanggung jawab moral yang harus diemban oleh generasi muda.

Pelajaran praktis lainnya terungkap di dapur. Sisi kearifan lokal Bayan terungkap ketika mereka belajar Memasak Makanan Khas Bayan yang disajikan sehari-hari. Ini adalah pelajaran budaya yang bisa langsung dirasakan oleh lidah.

“Program Live In ini bukan kunjungan biasa. Di sana, anak-anak kita benar-benar belajar arti tanggung jawab, menghargai nilai kerja keras, dan memahami keragaman hidup saat mereka melebur menjadi bagian dari keluarga lain,” ujar Ustadz Jamaluddin Abdullah, Pimpinan Pesantren Alam Sayang Ibu.

Dan akhirnya, setelah melalui hari-hari yang intensif dan penuh pelajaran hidup, program Live In Fase 4 ini harus ditutup dengan momen perpisahan yang sukses bikin haru dengan keluarga angkat. Tapi tenang, guys, para siswa MA Sayang Ibu ini pulang bukan cuma bawa air mata perpisahan. Mereka bawa oleh-oleh yang jauh lebih keren: skill baru yang mereka dapat, apresiasi yang dalam terhadap budaya Sasak Bayan, dan yang paling penting, bekal empati dan kemandirian yang kini sudah tertanam kuat di diri mereka. 

Program ini benar-benar worth it dan sukses total melampaui kurikulum sekolah yang formal. Live In Fase 4 berhasil menanam nilai-nilai keren seperti tanggung jawab sosial, rasa hormat yang mendalam terhadap kearifan lokal, dan kemandirian yang bakal jadi modal berharga untuk masa depan mereka. Jadi, Bayan sekarang sudah tak cuma nama desa di peta Lombok, tetapi sudah jadi rumah kedua yang berhasil mengukir kenangan abadi. Ini membuktikan bahwa pelajaran hidup yang sesungguhnya itu seringkali ditemukan di luar kelas, di tengah masyarakat yang sederhana namun kaya raya akan budaya dan pengalaman. 


Nune Dende kelas 10 MA Sayang Ibu bertemu dengan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia di Bayan (Foto: PAMSI)

Posting Komentar

0 Komentar