Ashabul Hadlarah: Melek Selamanya


Tidur adalah mati kecil: banyak tidur bisa mematikan!

Membaca judulnya saja sudah menarik. Membaca isinya lebih menarik lagi. Salah satu yang paling menantang rasa ingin tahu adalah sub yang kemudian menjadi judul buku—Ashabul Kahfi: Melek Tiga Abad (h 7). Bukan kah yang umum justru tidur tiga abad, bukan melek?

Al-Quran seringkali membuat pembacanya tercekat sendiri setelah membaca dan merenungi fenomena-fenomena ilmiah di balik kisah dan peristiwa yang dimuat. Dan itulah yang dirasakan kedua penulis buku yang berasal dari dua disiplin berbeda ini: Nadirsyah dengan Studi Islamnya dan Nurussyariah dengn Neurosainsnya. Kolaborasi mereka lahir dari ketakjuban yang sama atas ayat-ayat Quran.

Kisah Ashabul Kahfi adalah salah satu yang membuat mereka terpesona. Kisah legendaris yang selama ini hanya dikisahkan biasa dan berhenti pada ketakjuban suprarasional oleh kedua penulis disuguhkan menjadi sangat rasional dan membelalakkan mata. Penulis melihat beberapa aspek ilmiah mengagumkan dari kisah ini.

Pertama, pemilihan gua (kahf) sebagai tempat persembunyian dikaitkan dengan posisi matahari yang tidak tepat di depan mulut gua. Situasi ini—menurut telisik penulis dengan merujuk data-data saintifik—membuat suhu di dalam gua normal dan mengakibatkan turunya laju metabolisme otak tidak sampai menyebabkan kematian atau koma.

Kedua, disfungsi telinga. Quran menggunakan kataudzun (telinga) ketika berkata: Dan kami tutup telinga mereka  dalam gua itu selama beberapa tahun (QS 18: 12). Kata telinga (udzun) merujuk pada struktur anatomi tubuh yang memiliki dua fungsi, yaitu pendengaran dan keseimbangan pergerakan kepala. “Dengan demikian, ‘menutup telinga’ berarti menghambat dua fungsi sekaligus,” simpul penulis (h 12). Hal ini akan terjadi jika laju metabolisme otak terhambat.

Ketiga, mata yang terus melek. “Dan Engkau mengira mereka tidak tidur, padahal mereka tidur” (QS 18: 18). Penggalan ayat ini, menurut penulis, menjelaskan bahwa para pemuda Ashabul Kahfi itu melek, tidak memejamkan mata (h 13). Membuat mereka tidur dengan dengan mata terbuka menunjukkan bahwa mereka tidak mati, tidak juga koma (sejalan dengan penjelasan aspek pertama: fungsi gua).

Refleks pupil (lingkaran kecil mata) dan kemampuan mata untuk mengakomodasikan kuantitas rangsang cahaya yang masuk ke mata bergantung pada integritas sirkuit otak dan saraf-saraf penunjangnya. Jika kelopak tertutup terlalu lama maka kerja saraf-saraf mata akan menurun bahkan bisa menyebabkan kebutaan. Sebaliknya, jika terbuka terlalu lama akan mengakibatkan kering, luka dan akhirnya bisa menyebabkan buta juga. Tetapi disinilah luar biasanya. Rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan kisah Ashabul Kahfi menunjukkan bahwa perpaduan antara mata yang selalu melek dan suhu gua yang mendukung menyebakan tidak terjadinya kebutaan. Inilah yang membuat kedua penulis tercekat dan dipenuhi ketakjuban: Ini semua menjunjukkan betapa Allah SWT adalah “Sutradara kehidupan yang Mahacerdas” (h 13).

Dengan cara memahami yang sama penulis juga menjelaskan potongan ayat 18:18 yang lain: “Dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanandan ke kiri” (QS 18: 18). Ini menjelaskan bahwa mereka tidak mati ataukoma. Gerak motoris balok-balik ke kiri dan ke kanan ini membuat tubuh mereka tidak lumpuh dan masih terus berfungsi meskipun sudah tidur lebih dari 300 tahun.

 Apa pelajaran dari kisah Ashabul Kahfi ini? Ketika ini saya tanyakan pada dirisendiri, saya menemukan jawaban berikut.

Kisah Ashabul Kahfi juga mengajari kita untuk tidak boleh tidur, seperti Tuhan yang Tidak Pernah Tidur (lâ ta’khudzuhu sinan wa lâ naum). Seperti juga Nabi yang tidak tidur (nâmat 'ainâya walam yanam qalbiy). Kalaupun kita tidur, maka tidur kita harus produktif. Bukan kah tidur adalah salah satu momentum yang luar biasa? Para Nabi menerima perintah besar dalam tidur. Banyak orang soleh atau orang bukan soleh yang mendapat isyarat atau inspirasi menentukan dalam tidur (melalui mimpi). Maka tidak salah ketika buku ini menyebut tidur dengan sangat gagah: sebagai media perjalanan spiritual (h 36). Tidur seperti itulah yang kita inginkan: tidur yang qalbunya melek. Tidur tapi tidak tidur.

Jika para pemuda itu disebut Ashabul Kahfi yang melek selama tiga abad. Maka kita meskinya menjadi Ashabul Hadlarah (para pencipta peradaban). Dan itu hanya bisa terjadi jika kita “tidak tidur”. Kita harus “melek” selamanya atau terus mengalami mati suri (peradaban)!

Posting Komentar

0 Komentar