Air mengalir dari celah-celah Tetebatu, Lombok
(sumber foto: Indonesia Tropic Holidays)
Batu seringkali berkonotasi negatif—bandel, keras kepala, atau bodoh. Tetapi al-Quran menggunakan batu untuk memberi perumpamaan sebaliknya—bening, jernih dan peka. Seorang ulama yang mewariskan banyak karya monumental bahkan menggelari diri Anak Batu.
Simak perumpamaan dalam al-Baqarah, ayat 74, berikut. “Namun setelah itu hatimu mengeras, seperti batu atau bahkan lebih keras lagi. Padahal sesungguhnya dari sebagian batu yang keras itu mengalir sungai-sungai. Sebagian lagi, ketika terbelah, keluar darinya mata air. Sebagian lain lagi ada yang jatuh tersungkur karena takut kepada Allah.”
Ayat di atas adalah sindiran kepada sekelompok Bani Israil yang tidak bersedia menerima kebenaran. Allah ‘azza wajalla berulang kali menunjukkan kekuasaannya termasuk dalam hal kemampuan menghidupkan yang mati seperti disebutkan dalam ayat sebelumnya, namun tetap saja tidak memberi pengaruh.
Ketika kebenaran menjadi makhluk asing bagi seseorang, dia akan menolaknya, tak menggubrisnya. Allah menegaskan, manusia seharusnya belajar dari batu. Lihatlah batu-batu itu! Dalam diamnya yang hening memancarkan air yang sejuk dan bening. Selalu berzikir, tunduk tersungkur di hadapan Penciptanya. Batu-batu ternyata memiliki kekuatan spiritual luar biasa. Sangat “lembut dan patuh (taliinu wa takhsya’u),” tulis Syeikh Ali Asshobuni dalam Shafwatut Tafasir.
Pada konteks pendidikan kebenaran itu adalah ilmu. Kebenaran akan mudah diterima kalau terdapat kesediaan menerima. Ilmu akan mudah diterima (dikuasai) jika seseorang bersedia menyerapnya. Kesediaan menyerap itu salah satu wujudnya adalah menghadirkan perhatian secara penuh. Perhatian penuh akan terjadi jika terdapat kesadaran bahwa diri membutuhkan, menunjukkan sikap rendah hati dan rasa hormat. Itulah inti khusyu’.
Batu-batu itu dapat memancarkan air, mengalirkan sungai dengan melimpah dan memberi banyak manfaat, karena bersikap rendah hati, lembut, dan menunjukkan rasa hormat.
Seorang pendidik perlu menanamkan kesadaran etika ini sebagai sikap pencari ilmu. Para pencari ilmu perlu diyakinkan bahwa ilmu akan mudah dikuasai dan memberi manfaat jika pencarinya meyakini bahwa ia membutuhkan, menunjukkan sikap rendah hati, menghargai ilmu dan sumber ilmu (guru, buku, alam sekitar, dll) yang telah Allah anugerahkan.
Dengan kesadaran etik ini, insyaAllah, para pencari ilmu akan merasa mudah menguasai apa yang dipelajari, tak peduli tingkat atau jenis kecerdasannya (karena kecerdasan itu dinamis). Dan ilmu mereka akan memberi manfaat bukan hanya dalam bentuk air tapi lebih dari itu dan dalam bentuk yang sangat beragam.
0 Komentar