Sisi Lain Ibrahim AS


Aku rela, aku pasrah. Jiwa ,raga, hati dan pikiranku takluk (sumber: beritapks.com)

Puncak tauhid, kepasrahan total, dicapai dengan menjaga sikap kritis, mengedepankan akal sehat.
***
Bulan haji bulan Ibrahim, bulan menapaktilasi jejak-jejak tauhid. Nabi Ibrahim AS adalah peletak dasar keimanan, pemberani yang tegar, sosok yang patuh, tunduk takluk pada kehendak Tuhan, tanpa tedeng aling-aling.

Ibrahim diminta meninggalkan istri dan anak semata wayangnya di sebuah tempat antah berantah. Ia patuh. Bahkan, pada puncaknya, diminta menyemblihnya, ia penuhi dengan ketegaran dan keyakinan penuh. Pertanyaannya, bagaimana sang Nabi mencapai kualitas idemikian?

Bagi sebagian orang moderen kualitas Ibrahim bisa jadi lebih merupakan kegilaan orang pandir ketimbang puncak kecerdasan spiritual murni dan ketundukan pada keinginan yang Maha Kuasa. Mereka memandang Ibrahim telah kehilangan akal sehat.

Benarkah? Mari kita lihat sisi lain beliau yang sering terlupakan.

Pertama, Ibrahim adalah remaja yang kritis, bukan hanya terhadap lingkungan tetapi juga terhadap bapaknya. Ibrahim mengkritik ayahandanya sang arsitek patung. Dia juga mengkritik praktek ibadah masyarakatnya. Ibnu Katsir mencatat sikap kritis itu muncul saat umur Ibrahim awal belasan tahun.

Kedua, sikap kritis Ibrahim tidak hanya sekedar kegelisahan anak remaja. Ketika beranjak dewasa dia semakin menunjukkan sikap kritis. Dia membuat hipotesa tentang Tuhan. Siapakah Tuhan sesungguhnya? Bagaimana dan dimana Tuhan berada? Ketakjuban dia pada langit semesta tidak kalah dengan ketakjuban para ahli astronomi saat ini. Saking takjubnya, dia mengira benda-benda langit itu adalah Tuhan, atau setidaknya penampakan Tuhan.

Ketiga, saat telah menemukan Tuhan pun Ibrahim AS masih tetap menunjukkan sikap kritis. "Tuhan, tunjukkan kepadaku cara Engkau menghidupkan yang mati," cerita al-Quran. "Kamu belum yakin sepenuhnya kah atas kemahakuasaanKu?" Tuhan menelisik.

"Bukan. Bukan, Tuhan. Aku yakin seyakin-yahinnya. Hanya saja....hati ini, hati ini masih menyisakan ruang buatku untuk lebih memantapkan keimanan. Sehingga legalah semuanya (balaaa walaakin liyatma'inna qalbi)."

Imam Fakhruddin Al-Razie menjelaskan bahwa kisah yang diungkap dalam ayat 260 al-Baqarah ini bukan bermakna Ibrahim saat itu belum beriman sepenuhnya. Namun pembacaan langsung akan memberi kesan setidaknya Ibrahim masih menyimpan tanda tanya yang belum terjawab.

Apapun, yg jelas, setidaknya ayat ini memberi pelajaran bahwa beriman itu tidak bermakna kehilangan daya nalar. Ibrahim bahkan, dengan perannya sebagai tauladan ketauhidan, mengajarkan bahwa kemurnian tauhid memerlukan kejernihan berpikir, sebuah nalar yang terjaga dalam sikap kritis.

Keempat, sikap kritis beliau tunjukkan saat berumur lanjut. "Sembelihlah anakmu sebagai qurban." Sebuah mimpi mendatanginya. Kepekaan Tauhidnya mengatakan ini perintah Tuhan. Tetapi ia tidak tunduk buta. Ia tetap tidak ingin bertindak ceroboh. Ia tetap kritis. Ia memastikannya dahulu, menunggu sampai yakin perintah dalam mimpi itu benar adanya baru ia laksanakan.

Kelima, saat ia sudah yakin itu adalah perintah, namun ibrahim tetap saja tidak membabi buta. Ia ingin anaknya juga bertindak rasional. "Maadza taraa. Bagaimana pendapatmu, anakku?" (QS 37: 102). Ibrahim tidak seperti kebanyak kita ketika sudah merasa iman benar, keyakinan shahih, maka kita bertindak sewenang-wenang, kasar dsn memaksakan anak.

Dalam Al- Quran kata uswah hasanah (contoh terbaik) disebut tiga kali: satu terkait dengan Nabi Muhammad, dua kali terkait Nabi Ibrahim dan keluarganya. Salah satu contoh terbaik, dan ini penting untuk dunia pendidikan, adalah mengedepankan nalar kritis seperti kita bahas di atas. Visi tauhid yang dibangun oleh Nabiyullah Ibrahim alaihissalam diletakkan di atas pondasi berpikir kritis.

Gunakan akal sehat. Bersikaplah kritis! Dan latihlah anak-anak melakukan hal demikian. Semoga kita dan mereka dapat membangun pondasi tauhid yang kukuh. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Masya Alloh. Mohon berkenan mendo'akan penulisnya; moga Alloh berkahi hidupnya, ridhai 'amalnya, tak putus ganjaran kebaikannya. Teringat dalam buku ana yang pertama tahun terbitan 2012 dengan judul "dalam dekapan Ukhuwah Fillah" subtema; "Cicak di Dinding & Keyakinan yang Utuh"

    “Aku", kata Nabi ShallaLlahu 'Alaihi wa Sallam, "Adalah do'a yang dimunajatkan Ibrahim, ‘Alaihissalam..” Do'a itu, do'a yang berumur 4000 tahun. Ia melintas mengarungi zaman, dari sejak lembah Makkah yang sunyi hanya dihuni Isma’il dan Ibundanya hingga saat 360 berhala telah menyesaki Ka’bah di seluruh kelilingnya. Do'a itu, adalah ketulusan seorang moyang untuk anak-cucu. Di dalamnya terkandung cinta agar orang-orang yang berhimpun bersama keturunannya di dekat rumah Alloh itu terhubung dan terbimbing dari langit oleh cahayaNya. “Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaqksana.” (QS Al Baqarah [2]: 129) “Kata adalah sepotong hati”, ujar Abul Hasan ‘Ali An Nadwi, maka do'a adalah setetes nurani. Ia disuling dari niat yang haru dan getar lisan yang syahdu. Ia dibisikkan dengan tadharru’ dan khufyah; dengan berrendah-rendah mengakui keagungan Allah dan berlirih-lirih menginsyafi kelemahan diri. Dalam diri Ibrahim, kekasih Ar Rahman itu, do'anya mencekamkan gigil takut, gerisik harap, dan getar cinta.

    Maka dari do'a itu kita belajar; bahwa yang terpenting bukan seberapa cepat sebuah munajat dijawab, melainkan seberapa lama ia memberi manfaat. Empat ribu tahun itu memang panjang. Tapi bandingkanlah dengan hadirnya seorang Rasul yang tak hanya diutus untuk penduduk Makkah, tapi seluruh alam; menjadi rahmat bukan hanya bagi anak-turunnya, tapi semesta; membacakan ayatNya bukan hanya dalam kata, tapi dengan teladan cahaya; mensucikan jiwa bukan hanya bagi yang jumpa, tapi juga yang merindunya; dan mengajarkan Kitab serta Hikmah bukan hanya tuk zamannya, tapi hingga kiamat tiba.

    Dari do'a itu kita belajar; bahwa Alloh Maha Pemurah; tak dimintaipun pasti memberi. Maka dalam permohonan kita, bersiaplah menerima berlipat dari yang kita duga. Alloh Maha Tahu; maka berdo'a bukanlah memberitahu Dia akan apa yang kita butuhkan. Do'a adalah bincang mesra, agar Dia ridhai untuk kita segala yang dianugrahkanNya.

    BalasHapus