oleh Jamaludin Abdullah
"Setelah negeri Cina, tuntutlah ilmu ke negeri Jepang"
Dalam
pendidikan dikenal istilah three R's, sebagai ilmu pengetahuan dasar
yang harus dimiliki oleh setiap pelajar; reading (membaca), writing
(menulis), arithmetic (berhitung). Di Jepang tiga pengetahuan dasar yang
dikembangkan agak unik; three C's, yaitu connection (hubungan),
character (akhlak) dan content (isi). Berikut
penjelasan ringkas sebagaimana dituturkan Catherine
Lewis dan Ineko Tsuchida (1998).
Membangun Hubungan (Connection)
Seorang
guru Jepang bertutur demikian:
Anak
datang ke sekolah bukan karena mereka ingin belajar. Ia datang ke sekolah
karena ingin menemui temannya. Karena itu saya memusatkan perhatian saya untuk
mengusahakan agar setiap anak mendapatkan teman. Terutama apabila seorang anak
lambat dalam belajar, saya mencoba agar anak tersebut senang bergaul dengan
teman-temannya.
Penekanan
terhadap persahabatan di atas bukanlah suatu yang bersifat kebetulan. Mata pelajaran
untuk Sekolah Dasar di Jepang mencakup
berbagai tujuan yang menyangkut persahabatan, rasa memiliki dan pengembangan
tatacara bermasyarakat (social development). Salah satu tujuan nasional
pendidikan di Jepang adalah mengembangkan "rasa kedekatan dengan
orang-orang di sekolah dan menikmati suasana kelas." Sebuah survey menunjukkan bahwa guru SD di
Jepang menangani pengembangan kehidupan sosial anak dengan cukup serius. Ketika
ditanya tentang pentingnya delapan tujuan pendidikan, guru-guru SD di Jepang,
secara berurutan, menempatkan perioritas pertama dan kedua pada "pengembangan
kepribadian anak, kepuasan dan pemehaman diri (self-understanding)" dan
"kemampuan berhubungan dengan orang lain". "Kemampuan akademis
(academic excellence)" dan "keterampilan khusus" pada urutan
ketujuh dan kedelapan. Sekolah Dasar di Jepang diorganisir sedemikian rupa
untuk mengembangkan persahabatan dan rasa memiliki. Tidak ada pengelompokan
menurut kemampuan. Semua pelajar hidup bersama selama dua tahun (biasanya
dengan satu guru), dan selama sekitar 30 hari (dalam satu tahun jam belajar) dikhususkan
untuk melibatkan anak dalan suatu kegiatan yang bertujuan membangun kemapuan
berhubungan dengan sesama di antara masyarakat sekolah, seperti olahraga, seni,
wisata, mendaki gunung, dan berbagai festival yang ditangani oleh anak-anak
sendiri.
Guru-guru
di Jepang membentuk hubungan murid dengan sekolah tidak hanya dengan mendorong
persahabatan dan mengadakan kegiatan yang melibatkan seluruh komponen sekolah,
tapi juga dengan memberikan kesempatan bagi murid untuk menyampaikan gagasannya
dalam hal jalannya sekolah maupun kelas. Melalui pertemuan kelas duakali
sehari, komite kelas, dan pergantian ketua kelas, bahkan murid kelas
pertama ikut ambil bagian dalam menetukan program kelas dan memimpin diskusi
kelas.
Dengan
cara ini, para pendidik sekolah dasar di Jepang membentuk rasa cinta siswa
terhadap sekolah dan keinginan mereka untuk hidup dengan nilai-nilai yang
ditanamkan oleh sekolah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sekolah dasar yang
menunjukkan perhatian yang lebih besar dan tanggap terhadap kepentingan anak
didiknya lebih berhasil dalam membentuk etika dan kemampuan hidup bermasyarakat
para siswa.
Mengembangkan
Akhlak (Character)
Character atau akhlak adalah sesuatu yang sangat penting.
Persahabatan, kerjasama, tanggungjawab, melakukan yang terbaik yang bisa
dilakukan (doing one's best), dan menjaga keselataman serta kesehatan
merupakan tujuan-tujuan utama. Berikut adalah ringkasan tujuan dan muatan
pendidikan dasar di Jepang. Muatan pendidikan akhlak (character) ini
dibagi menjadi empat kategori (disertai dengan beberapa contoh):
1. Akhlak yang menyangkut pribadi: a) "memikirkan
kehidupan pribadi", b) "memiliki keberanian untuk melakukan apa yang
diyakini sebagai benar", c) "meyelesaikan secara sempurna semua
aktivitas dan study sebagai tanggungjawab pribadi".
2. Akhlak yang menyangkut orang lain: a) "percaya
atau berbaik sangka pada orang lain", b) "bersikap baik terhadap
orang lain", c) "menjalin persahaban sambil belajar".
3. Akhlak yang menyangkut alam dan keindahan; a)
"perasaan dekat dengan alam sekitar dan berlaku baik terhadap tumbuhan dan
binatang", b) "memiliki hati yang tergugah terhadap keindahan dan
keagungan (ciptaan Tuhan)".
4. Akhlak yang berhubungan dengan kehidupan kelompok
dan masyarakat: a) "memegang janji dan menjunjung nilai-nilai hidup
bermasyarakat dan menjaga semua fasilitas yang menyangkut kepentingan
publik", b) "secara aktif berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan mengambil inisitaif untuk bertanggungjawab".
Nilai-nilai
tersebut tidak hanya dituangkan dalam suatu bingkai mata pelajaran akhlak tapi
melebur menjadi prilaku yang menghiasi setiap ativitas keseharian sekolah.
Untuk
membangun suatu persahabatan yang saling mendukung diantara murid dan antara
murid dan guru, guru-guru di Jepang biasanyan menghindari pemberian hadiah atau
hukuman, yang, seperti kata salah sorang guru, "akan membuat semacam
tembok prasangka tidak baik bagi pelajar yang kebetulan lamban secara akademis,
atau yang kurang bisa duduk dengan tenang." Sebaliknya para siswa mendiskusikan model
kelas yang mereka inginkan dan melakukan penilaian terhadap kemajuan diri
sendiri. Program kelas, seperti "Mari kita bertemen"; "Mari kita
jadikan kelas yang baik untuk semua", merupakan nilai-nilai yang
diinspirasikan oleh badan nasional Course of Study (semacam lembaga pengawasan
kurikulum), tapi para siswa mendiskusikan dan membentuk program-program
tersebut dalam suatu format yang praktis dan mudah, dan karenanya menimbulkan
rasa memiliki (self of ownership). Secara khusus, kelompok yang
menyerupai keluarga, dalam kelas, juga menciptakan sendiri program-programnya.
Beberapa
minggu setelah liburan kami mempelajari hal-hal tertentu seperti “Mari kita
menjaga jadwal waktu kita” dan “Mari bersiap memulai setiap pelajaran” – adalah
merupakan program yang berhubungan dengan Course of Study untuk “menjalani
kehidupan sehari-hari,” tapi diputuskan oleh para pelajar setelah
mempertimbangkan kebiasaan mereka.
Memamerkan rencana kegiatan personal setiap
anak, dalam bentuk tulisan tangan mereka sendiri, merupakan gejala yang ada
dimana-mana pada semua kelas SD di Jepang. Seringkali, rencana-rencana itu
disertai dengan ilustrasi hidup seperti seorang anak kelas satu segera keluar
dari kamar tidur ketika ibunya memanggil. Atau terkadang melukiskannya dalam
sebuah lukisan dinding yang melambangkan pertumbuhan, seperti, sebuah pohon yang daunnya mewakili setiap
program seorang anak. Setiap anak menggambar diri mereka dan ditempel pada
dinding kelas. Pada gambar diri mereka itu dicantumkan pula rencana personal
mereka yang ditulis dengan lingkaran-lingkaran kecil yang keluar dari mulut
mereka, seperti: “Saya ingin mengerjakan semua pekerjaan rumah saya”; “Saya
akan berusaha mengangkat tangan setiap hari”; dan “Saya akan berusaha
membersihkan kelas tanpa perlu membuah-buang waktu.”
Pada
kebanyakan kelas, gambaran sikap siswa dapat dilihat dari rencana-rencana
mereka—karena sekolah, kelas, kelompok kecil dan setiap individu—selama jam
pelajaran berusaha menyisihkan waktu untuk hansei (tafakkur) yang
bisa saja terjadi setiap hari, seminggu sekali atau kurang dari itu. Ketika
mereka merasa telah melaksanakan rencana-rencana itu mereka pun menyusun
rencana-rencana baru.
Proses
ini mungkin memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun sampai mereka menjadi
orang yang bertanggungjawab dan memiliki kelakuan baik. Para siswa SD di Jepang
telah terbiasa menyusun rencana-rencana mereka dan mengukur kemajuan mereka.
Mereka menjadi sangat bertanggungjawab. Seorang guru Jepang yang biasa menunggu sampai sekitar 20 menit
sementara siswa yang membantu menjaga ketenangan kelas berjuang untuk
menenangkan kelas, berbicara kepada kami: “Saya bisa saja menenangkan kelas
dengan satu kata, tetapi saya tidak ingin menciptakan murid yang patuh hanya
ketika saya ada di sini.”
Menghadirkan
Isi (Content)
Membentuk
karakter (character) dan hubungan (connection) seorang siswa
dengan sekolah merupakan hal mendasar dalam sekolah Jepang, demikian juga yang
ketiga, yaitu content (isi). Isi kurikulum Jepang menawarkan dua
hal yang menakjubkan. Pertama, sedikit itu adalah banyak (less is
more). Dibandingkan dengan standar dunia, kurikulum Jepang adalah sangat
hemat dan cermat (frugal). Menurut Third International Mathematics and
Science Study (TIMSS), buku pegangan fisika dan biologi (science) untuk
kelas 6 memuat hanya delapan topic. Bandingkan dengan Amerika pada tingkat sama
yang memuat 65 topik. Buku pegangan di Jepang sangat singkat; untuk pelajaran science
kelas 4, misalnya, hanya 60 halaman persemester, dengan format 7x10 inc. Buku
pegangan tidak akan disahkan bila terbukti muatannya melebihi standar National
Course of Study. Sebuah buku pegangan ilmu pengetahuan alam untuk sekolah
dasar, misalnya, telah ditolak penggunaannya hanya karena percobaan electrik
yang termuat di dalamnya memakai tiga baterai, bukan dua sebagaimana ditetapkan
dan karenanya dianggap tidak penting dan rumit bagi siswa Sekolah Dasar.
Seorang
peneliti, sebagai mana diungkap oleh TIMSS, baru-baru ini memberi tantangan:
“Jika kurikulum Jepang memuat sedikit isi, bagaimana pelajarnya bisa mengetahui
lebih banyak?”
Nampaknya
ada dua penjelasan untuk kenyataan yang paradox ini. Pertama, siswa Jepang
mempelajari setiap topik dengan mendalam. Walaupun mereka menggunkanan waktu
yang sangat sedikit ketimbang pelajar di Amerika, misalnya, tetapi mereka memanfaatkan
waktu yang lebih banyak dalam satu topik. Contohnya, siswa kelas 3 di Jepang
diharapkan memakai 10 kali waktu jam belajar hanya untuk mempelajari fungsi
berat, dan hanya ada dua buah pengetahuan yang mereka diharapkan untuk
dikuasai: (1) Semakin besar dan cepat sebuah objek, semakin besar dan cepat
pula objek yang dapat dipengaruhinya, dan
(2) waktu yang dibutuhkan dalam satu putaran oleh setiap tali
dipengaruhi oleh panjangnya tali (bukan oleh jumlah berat).
Lain
dari itu, unit yang diajari memiliki beberapa tujuan yang berhubungan dengan
kebutuhan siswa (misalnya, mereka ingin membuat mainan dengan menggunakan apa
yang telah mereka pelajari tentang berat), pemikiran dan observasi saintifis
mereka (seperti, mereka dapat menggrafikkan experimen mereka dan memikirkan
variabelnya secara kuantitaif). Dalam
sebuah kelas siswa menggunakan seluruh waktu untuk mengobservasi dunia nyata
pendulum, sehingga mereka mengetahui hal-hal (variabel-variabel) yang
mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk satu kali ayunan pendulum. Jam-jam
pertemuan lain digunakan untuk melakukan eksperimen untuk mencoba ulang
kesimpulan yang telah mereka ketahui dan mendiskusikan penemuan pada eksperimen
mereka. Bahkan, setelah menyerahkan tugas dan diskusi, banyak dari siswa yang terperangah
oleh penemuan mereka sendiri bahwa jumlah berat pada bagian akhir pendulum tidak mempengaruhi siklus waktunya. Di sini
guru kemudian menyediakan waktu penuh dimana siswa dapat melakukan eksperimen
selanjutnya dengan pendulum. Kali ini terhadap penemuan yang “membingungkan
atau yang agak sulit dipercaya” itu. Seperti dikatakan oleh seorang guru,
“Adalah alamai bagi anak-anak, sebagaimana juga orang dewasa, untuk mengabaikan
penemuan yang berlawanan dengan konsepsi mereka. Maka adalah penting melakukan
eksperimen berulang-ulang, dalam waktu yang cukup, sehingga para siswa dapat
meyakini diri mereka sendiri.”
Sejak
mereka diberikan 10 jam pelajaran untuk mempelajari dua hal tentang berat dan
gerak, adalah tidak mengherankan bila pelajar Jepang mempelajarinya dalam suatu
cara yang tak mungkin dilupakan. Guru-guru di Jepang memiliki waktu untuk
menggunakan tehnik yang mengantarkan siswa kepada pemahaman yang
mendalam—seperti mengharuskan pelajar menulis, menggambar, dan mendiskusikan
prediksi-prediski mereka; merevisi prediksi awal berdasarkan hasil observasi
baru; mendebat pandangan yang berbeda; dan membuat prediksi untuk situasi baru.
Menekankan
pada Keseluruhan (the Whole)
Hal kedua
yang menakjubkan pada kurikulum Jepang—sekaligus sebagai penjelasan kedua
mengapa siswa Jepang nyatanya belajar lebih banyak dari yang sedikit—adalah
penekanan pada pengembangan keseluruhan aspek anak. Walaupun Japang memiliki
kurikulum nasional, tetapi yang menarik adalah 1/3 dari keseluruhan jam
belajarnya diperuntukkan untuk hal-hal non akademis seperti seni, musik,
pendidikan fisik, produksi rumah tangga, dan kegiatan-kegiatan kelas khusus. Di
luar jam pelajaran tersebut, banyak waktu bahkan digunakan untuk pertemuan
kelas duakali sehari, meperbanyak pertemuan dengan seluruh warga sekolah,
festival dan wisata. Cummings (1980) menulis, “Guru-guru di Jepang percaya pada
pendidikan menyeluruh anak…Mereka merasa bahwa tugas paling penting mereka
adalah mengembangkan keseluruhan dimensi diri seorang siswa, tidak hanya intelek
mereka.”
Dengan
kata lain seni dan musik merupakan pelajaran dasar pada sekolah-sekolah Jepang.
Seni mengajarkan kepada anak berbagai kualitas perilaku—kerja kelompok,
kegigihan, tanggungjawab, kerjasama—yang merupakan tekanan sentral kurikulun
Jepang.
Khotimah
Three C’s pada pendidikan dasar di Jepang—connection (hubungan), character (kepribadian atau akhlak), dan content (isi)—adalah tiga serangkai yang saling kait-mengkait (interdependent). Ketika sekolah merupakan tempat bagi hubungan manusiawi yang mendalam, anak-anak termotivasi untuk sebisa mungkin menjadi orang terbaik yang bisa mereka capai. Ketika nilai-nilai persahabatan, kerjasama, dan tanggungjawab ditanamkan secara sungguh-sungguh, sekolah menjadi tempat yang terbaik untuk belajar dan persahabatan. Ketika isi kurikulum dikurangi sedemikian rupa sehingga anak-anak memiliki banyak waktu untuk melihat arti dan pentingya apa yang mereka pelajari, para siswa agaknya akan mebangun hubungan yang kuat dengan sekolah (atau madrasah atau pondok pesantren kalau Anda lebih suka dengan istilah itu).
Akhirnya, sebagai mana
Jepang yang memola sendiri tiga pengetahuan dasarnya berdasarkan nilai-nilai
budayanya, nampaknya kita juga perlu mendisain sendiri berdasrkan nilai-nilai
dasar budaya kita. Tidak meski tiga, tentunya. Tetapi apa salahnya kalau kita
mencoba apa yang telah dilakukan Jepang karena kita sama-sama berangkat dari
nilai Asia, buka? Saya jadi ingat kata-kata teman saya, “Seandainya Nabi masih
hidup mungkin beliau akan bersabda uthlubil ilma walau bi yaaban”.[]
0 Komentar