Literasi Madrasah Kami

 
Kelas VII Ibnu Khaldun dan Ibnu Haytham.

Catatan Bang Ical
Guru Literasi MSI atawa Creative Writing Specialist

Antologi Esai
Beberapa waktu lalu, murid-murid angkatan kedua di madrasah tempat saya mengajar (MTs. Alam Sayang Ibu) menerima tantangan saya untuk menulis proyek antologi essay sebagai karya akhir tahun. Mereka yang saya tantang ini adalah murid-murid kelas 1 madrasah tsanawiah (setara kelas 7 Sekolah Menengah Pertama).
Semalam (Minggu, 14 Mei 2017) naskah mereka semua sudah jadi. Ada lebih dari tiga puluh naskah, terdiri dari sekurang-kurangnya lima belas paragraf per tulisannya. Mereka, nune-dende (para ananda) kami itu, berbicara tentang pengalaman dan pendapat mereka tentang pentingnya tradisi membaca dan menulis. “Suara Literasi Dari Madrasah Kami”, begitu tajuknya.
Jujur, ketika semalam saya membaca habis tulisan-tulisan mereka, saya terharu. Mereka menulis dengan kemampuan yang sangat baik. Bila sewaktu SMP mereka bisa menulis sebaik ini, saya tidak bisa bayangkan saat mereka mahasiswa bagaimana. Kepekaan mereka akan diksi, dan sense mereka memilin kata menjadi kalimat-kalimat kompleks, adalah kemampuan yang tidak saya miliki di usia mereka.
Mereka masih mengetik ulang naskah mereka, agar memudahkan proses editing. Saya takkan malu mengedit naskah ini. Naskah antologi mereka kocak, lembut, polos, sepolos anak-anak di usia mereka.

Membangun BATUR
Di Madrasah Sayang Ibu, tradisi literasi adalah tradisi yang sangat ditekankan. Sekolah kami adalah sekolah dengan spirit ilmiah yang tinggi; budaya membaca dan menulis adalah salah dua tiang pentingnya.
Sejak 2016, oleh Direktur Madrasah Pak Jamaluddin (Je Abdullah, penulis buku Kafilah al-Fatehah), saya diminta untuk memperkuat tradisi literasi. Hampir saban malam, sejak tahun ajaran baru 2016/2017, saya mesti hadir di tengah-tengah mereka untuk: (a) memotivasi dan menemani mereka membaca buku; (b) menulis tanggapan atas buku, dan mendiskusikannya; (c) juga, ‘memaksa’ mereka berlatih menulis essay yang baik. 
Hampir saban malam, dari pukul 20.30 sampai 21.30 Wita. Variatif penyelenggaraannya. Sesekali membaca bebas, sesekali berdiskusi, sesekali booktelling, dan kelas menulis. Mereka wajib bersentuhan dengan segala yang berbau buku. Itulah literasi. Dalam pandangan Madrasah ini, semua tradisi literasi itulah Pelajaran Bahasa Indonesia.
Ada salah satu kisah menarik dalam proses kreatif mereka: Tito, salah satu murid dari kelas Ibnu Khaldun, di malam kedua ia mencoba menyusun tulisannya, beringsut ke ruang perpustakaan madrasah yang megah. Tito mengambil beberapa buku, dan mulai meriset gagasan yang bisa ia masukkan ke dalam tulisannya. Salah satunya, Tito mengutip kisah hidup Said Nursi, sebagai teladan.
Tradisi riset, batin saya dalam hati, adalah gaya hidup kaum Muslim yang telah hampir-hampir pudar seluruhnya, dewasa ini.

Literasi, Titik Penting
Bagi Direktur, BATUR (Baca, Tulis, Tutur) adalah kebudayaan yang harus dibangun dalam diri mereka sejak dini. Dengan cara itu mereka bisa menjadi generasi bangsa yang berilmu dan berpribadi. Wawasan yang luas dan karakter yang kuat, pelajar-pelajar semacam inilah yang dibutuhkan negeri.
Kualitas semacam itu, apapun metode pendidikan yang dipilih suatu lembaga untuk mewujudkannya, tetap saja budaya membaca merupakan titik pentingnya. Membaca tidak hanya menambah wawasan, namun juga menguatkan pikiran. Menulis adalah soal berbagi: setiap anak di Madrasah ini, apapun cita-cita dan nasib mereka kelak, mereka selalu dipesan untuk berbagi ilmu lewat tulisan, dan sejak dini mereka sudah dilatih untuk itu.
Kita tahu sendiri, semakin hari kecakapan berpikir generasi muda bangsa semakin melemah. Banyak otak yang sudah tidak kuat lagi diajak berpikir keras (dalam arti, kritis, dan memikirkan persoalan-persoalan di luar dirinya). Kebanyakan antusias itu membludak hanya pada tema-tema yang menghibur (tema fashion, misalnya), atau yang ada imbal balik materiilnya (duit, misalnya). []


Posting Komentar

0 Komentar