Sumber: https://www.google.co.id/search?q=buku+teks&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwj MwMH40tXTAhVBP48KHU4bCUQQ_AUICigB&biw=1072&bih=621#imgrc=jTZVLYXAzYmRUM: |
(Tulisan lama, pernah dimuat di Media Indonesia, Senin, 07 Desember 2009. Ada bagian-bagian yang sudah tidak "nyambung", tp tidak mengurangi pesan inti yang masih sangat relevan, terutama terkait dengan rendahnya minat baca dan kemampuan berpikir pelajar Indonesia yang sampai hari ini masih menjadi masalah besar.)
Buku pelajaran (textbook) merupakan media pembelajaran yang paling dominan
bahkan sentral, dalam makna positif dan negatif, dalam sebuah sistem pendidikan. Ia adalah kendaraan utama
'transfusi' materi kurikulum ke hadapan siswa. Karena perannya yang demikian
sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak
dari tinggi-rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley (1997), misalnya,
menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan
matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung
'a mile wide and an inch deep'. Buku-buku teks sekolah Amerika dipenuhi oleh
halaman-halaman tanpa makna (meaningless) dan terlalu detail terhadap
konsep-konsep kecil, sementara buku-buku teks Jepang menganut prinsip 'less is
more' (sedikit itu banyak). Untuk pelajaran fisika-biologi kelas 6, misalnya,
buku teks Jepang hanya memuat 6 topik sedangkan Amerika 65 topik. Dihadapkan
dengan kenyataan ini Amerika melalui Project 2061 yang diluncurkan tahun 2001
memberi perhatian besar terhadap penulisan buku-buku teks yang berorientasi
pada kedalaman substansi dan proses.
Bagaimana dengan buku-buku teks sekolah di Indonesia? Keadaannya lebih
parah. Di samping tingkat kepadatan materi yang tinggi, buku teks sekolah
Indonesia menyimpan cacat isi (content) yang mendasar. Sebuah riset yang
dilakukan oleh Sri Redjeki (1997), misalnya, menunjukkan bahwa buku-buku
pelajaran yang dikonsumsi pelajar Indonesia tertinggal 50 tahun dari
perkembangan terbaru sains modern. Hal yang sama terjadi juga pada pelajaran
lain termasuk pelajaran agama. Buku pelajaran agama bahkan lebih menyerupai
buku teks subjek matematika atau fisika yang sarat dengan rumus dan lebih
mementingkan penghafalan materi ketimbang rumusan moralitas dalam proses dan
praktik. Ini terlihat secara kasatmata karena pelajaran agama dinilai dengan
satuan angka. Untuk memperoleh nilai bagus dalam pelajaran agama, seorang anak
bahkan harus menghafal sedemikian banyak soal bahkan dalam bentuk multiple
choice. Bisa dibayangkan, buku teks agama kita sangat tidak menarik karena anak
dikejar-kejar dengan nilai, bukan proses penanaman etika dalam proses belajar
keseharian.
Memang banyak muncul buku teks terbitan terbaru, apalagi dengan
kebijakan e-book baru-baru ini, akan tetapi isinya tidak fokus dan sering kali
merupakan pengulangan-pengulangan. Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah
siklus daur ulang materi-materi lama dengan referensi lama pula untuk tidak
mengatakan kadaluwarsa sehingga perkembangan pengetahuan siswa pada dasarnya
jalan di tempat. Dengan kondisi ini, harapan agar siswa bisa mengantisipasi
masa depan menjadi slogan belaka. Bagaimana mungkin mengharapkan mereka mampu
mengantisipasi masa depan jika pelajaran-pelajaran yang disodorkan justru tidak
responsif terhadap perkembangan yang sedang terjadi?
Nilai strategis
DALAM studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000)
terungkap bahwa buku pelajaran (textbook) merupakan satu-satunya buku rujukan
yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Hal ini
setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, ketergantungan siswa dan guru yang
begitu besar terhadap kelemahan mendasar dunia pendidikan nasional, tetapi pada
sisi lain menginspirasikan treatment strategis bagi pengembangannya. Fenomena
ini sesungguhnya menyodorkan satu hal urgen, buku paket bisa menjadi
katalisator (baca: jalan pintas) peningkatan mutu pendidikan Indonesia yang
sedang terpuruk.
Ada beberapa alasan mengapa buku paket menjadi alternatif
strategis-akseleratif pembangunan kembali dunia pendidikan Indonesia yang sudah
bangkrut. Pertama, kualitas guru yang sebagian besar tidak memadai. Sudah
menjadi pengakuan umum bahwa rendahnya kualitas guru Indonesia karena beberapa
sebab yang memang tidak kondusif bagi mereka untuk berkembang dan profesional
dalam bidangnya adalah salah satu titik lemah pendidikan nasional.
Rendahnya mutu guru salah satunya disebabkan oleh masih adanya angka
guru mismatch dan underqualified yang relatif tinggi. Beberapa usaha telah
dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru seperti inservice training,
sertifikasi, atau bahkan program pascasarjana. Tetapi usaha semacam ini, di
samping sulit menjamin kualitas hasilnya, juga membutuhkan biaya besar dan
waktu lama.
Di tengah kondisi yang demikian, perlu dicari alternatif yang paling
mungkin untuk menolong siswa dalam jangka pendek, dan tanpa membutuhkan waktu
terlalu lama. Dalam hal ini, kehadiran buku pelajaran berkualitas yang
dirancang dengan asumsi 'bisa dipahami dengan baik tanpa guru sekalipun' dan,
tentunya, relevan terhadap temuan terbaru menjadi sangat mendesak.
Kedua, seperti yang diungkap di atas, buku paket merupakan satu-satunya
buku rujukan yang dapat diakses (baca: dibaca) oleh hampir seluruh siswa,
bahkan juga oleh sebagian besar guru. Tragis sekali bila satu-satunya sumber
belajar yang bisa diakses siswa ini tidak ditangani secara serius. Di samping
itu, seperti yang ditunjukkan oleh laporan International Education Achievement,
minat baca siswa di sekolah-sekolah Indonesia menempati nomor dua terakhir dari
39 negara yang disurvei. Tentunya, keadaannya akan semakin parah bila minat
baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan
yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka. Mereka bisa jadi kehilangan minat
terhadap buku.
Lima kelemahan
KELEMAHAN buku-buku teks yang banyak beredar setidaknya mencakup lima
hal, yaitu isi, bahasa, desain grafis, metodologi penulisan, dan strategi
indexing. Seperti disinggung di atas, masalah isi mengandung dua cacat pokok,
yakni terlalu banyak dan kadaluwarsa dan karena itu menyesatkan, sebab sudah
tidak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir. Hal ini setidaknya juga bisa
dilihat dari referensi lama yang dipergunakan.
Pengakuan para penyusun buku seperti diungkap Supriadi patut mendapat
catatan: Para penyusun bukannya 'menulis buku baru dengan referensi yang baru
pula', melainkan 'menata ulang', 'mengemas kembali', atau 'merakit kembali'
materi-materi yang telah ada dalam buku-buku sebelumnya. Maka yang terjadi
sebenarnya adalah reproduksi ulang kesalahan-kesalahan sebelumnya dengan
kemasan baru.
Dari segi bahasa dan ilustrasi, kelemahan menonjol buku-buku teks
adalah penggunaan bahasa dan ilustrasi yang tidak komunikatif sehingga tidak
berhasil menyampaikan pesan inti buku. Dari segi metodologi penulisan, dapat
dilihat dari tidak adanya nuansa yang bisa menggugah kesadaran
afektif-emosional siswa, terutama dalam buku-buku sosial, moral, dan keagamaan.
Pendekatan yang dipakai terlalu materialistik, kering, dan membosankan sehingga
gagal menyampaikan pesan isi (content provision) sebuah buku.
Dari aspek strategi kemudahan untuk membaca, indexing hampir tak pernah
ada dalam buku-buku teks sekolah anak-anak kita. Tidak seperti buku-buku teks
semisal di Singapura dan Amerika yang kaya dengan indeks. Buku-buku teks kita
miskin inisiatif bahkan untuk sebagian buku teks di perguruan tinggi. Dalam
beberapa studi disebutkan, ketersediaan indeks dalam buku teks akan menaikkan
tingkat analitis dan daya kritis anak terhadap setiap persoalan. Karena, dengan
indeks seorang anak akan belajar bagaimana melihat kebutuhan pokok bahasan yang
sesuai dengan minat dan keinginannya tanpa perlu waktu lama dalam memperolehnya.
Kelima masalah di atas bisa jadi berawal dari honor yang diterima oleh
para penulis sangat kecil dan kadang tidak manusiawi. Bagaimana tidak, walaupun
anggaran yang dialokasikan untuk buku sangat besar, yang diterima oleh penulis
justru sangat tidak wajar. Menurut Rencana Proyek Pengembangan Buku dan Minat
Baca, Ditjen Dikdasmen, misalnya, alokasi dana pengembangan buku tidak kurang
dari US$350 juta. Dengan kurs rata-rata Rp10.000 per dolar, jumlah itu sama
dengan Rp3,5 triliun lebih! Idealnya, dengan dana yang demikian besar,
pemerintah seharusnya bisa membangun semacam 'Kamp Konsentrasi Penulisan Buku
Paket' dengan membayar penulis-penulis andal dengan satu tema besar,
“Melahirkan buku-buku teks berkualitas bagi pembangunan masa depan bangsa.”
BILA kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan
adalah siswa, dan bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan
untuk memaksimalkan kemampuan siswa, sudah saatnya usaha yang diprioritaskan
adalah yang paling mungkin dirasakan langsung oleh setiap siswa. Tidak bisa
dimungkiri, buku paket merupakan salah satu kalau tidak satu-satunya media
belajar yang bisa dipegang, dirasakan, bahkan menjadi teman tidur siswa yang
kebetulan sebagian besar miskin dan tak berdaya itu, di pojok-pojok kamar
mereka. Merupakan kekeliruan fatal bila kemudian 'teman setia'-nya tersebut
tidak mampu mengantarnya ke gerbang pengetahuan dan masa depan yang lebih
baik.[]
*Jamaludin,
pegiat pendidikan pada Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Email:
jamaludinj@hotmail.com
0 Komentar