“Tik, tik, tik … bunyi hujan di atas genteng, airnya turun … tidak terkira, cobalah tengok dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua” Nanda bernyanyi dengan sepenuh hati di tengah hujan yang mengguyur lebat desa yang dicintainya. Alhasil, sepulangnya dari menikmati tetesan air surga nan menyejukkan, Ibunya memandang Nanda dengan wajah kesal yang ditutupi dengan senyum cemas, takkut si sulung akan kambuh lagi jika terlalu letih. Belum sempat mengatakan sepatah kata pun, gadis dengan rambut panjang sebahu itu digeret Ibunya dan kembali disembur air hangat dengan campuran sambiloto dan garam kasar.
“Nana manis, mulai sekarang harus bilang Ibu atau Eyang ya, kalau main, kan semua khawatir dengan kondisi Nana yang belum pulih” Ibu mengusap kepala Nana dengan lembut dan sayang. “Tapi, kakak nggak dikasih main kalau bilang sama Ibu dulu. Kata Mator, kalau kakak main dengan ceria di tengah hujan, kakak nggak akan kenapa-napa,” balasnya, sambil meletakkan kembali gelas cokelat panas yang masih mengepul. “Siapa itu … Thror, Ror?” Ibu gelagapan, “Mator, dia bilang teman-temannya bisa menyembuhkan kakak. Jadi tiap teman-teman Mator datang, kakak main sama mereka” Nanda semangat menjelaskan. “Tapi, hiks … hiks … Mator tertelan bumi saat asyik bercakap dengan kakak, hingga tidak terasa dia terjatuh dari ujung jari kakak,” imbuh Nanda sambil terisak.
“Apakah Ibu bisa mengetahui bahsa hujan dan tetesan airnya?” Nanda mengambil pose. “Oh … yah! Ibu tahu, Mator yang beritahu kakak supaya main dengan kawan-kawannya agar kakak nggak sedih dengan perginya Mator”. Ibu sekarang tahu alasan Nanda tidak pernah terlihat kambuh lagi, berkat Mator yang baik hati, Nanda kembali aktif dan cerewet tanpa jeda seperti dulu.
Story by: Royyan Paice Sangwenang
Story by: Royyan Paice Sangwenang
0 Komentar