Ini adalah apa yang saya pikirkan jika menjadi bagian dari sejarah Kurban. Saya menempatkan diri saya sebagai setiap tokoh dalam peristiwa Kurban.
Ibunda Hajar yang pantang menyerah
Jika Allah berkehendak maka saya pasti menggali gundukan
pasir dimanapun demi menemukan mata air untuk Ismail A.S yang menangis
kehausan. Setelah berlri bolak balik bukit satu dengan bukit lainnya. Kalau
usaha yang telah saya lakukan tidak menemukan jalan, maka langkah selanjutnya,
bermunajat meminta pertolongan Allah untuk membantu usaha yang telah saya
lakukan selaku Bunda Hajar. Setelah bermunajat, saya akan memberikan nazar,
sehingga Allah menolong hamba-Nya yang sedang membutuhkan dengan ikatan perjanjian
yang sesuai dengan Sang Maha Kuasa. Setealh usaha yang saya lakukan menuai
hasil, saya langsung bersujud untuk mengatakan rasa syukur dan bertahmid dengan
khusyu’.
Ayahanda Ibrahim, Sang Kekasih Ilahi
Setelah mendapatkan mimpi yang menegangkan dan mengusik hati
itu, saya yang sedang berperan sebagai Nabi Ibrahim akan melaksanakan sholat
istikharaj untuk mepertanyakan hal itu kembali. Sebenarnya tidak mungkin juga
rasanya seorang Ayah rela menyemblih anaknya. Lagipula, pada zaman ini jika
seorang Ayah hanya memukul anaknya, pasti akan disorot dengan dalih kekerasan.
Itulah bedanya zaman nabi dengan zaman kita yang serba modern saat ini.
Jika pada zaman Nabi semuanya dilakukan berdasarkan perintah
Allah maka tidak ada yang harus diragukan lagi. Maha Kuasa Allah yang telah
meluruskan jalan orang-orang terdahulu dengan petunjuknya. Zaman modern ini
berbeda jauh dengan zaman-zaman sebelumnya. Saat ini, kita berperilaku tidak
jauh beda dari hewan, malah lebih biadab dari seekor hewan buas sekalipun.
Ananda Ismail A.S Pelurus Tata Tertib
Sebagai sesosok anak dari seorang mulia yang mendapati
julukan “Bapak Para Nabi” seharusnya saya menaati apapun perintah orangtua, terlebih
lagi, Allah-lah yang memberikan perintah itu. Walaupun telah diajak untuk
berbicara meminta pendapat, saya mungkin akan melarikan diri terlebih dahulu
dan menjalani kehidupan sendiri. Atau dengan cara lain yang lebih mudah dengan
cara merajuk, hingga orang tua-lah yang merasa bersalah. Lain lagi, jika saya
merayu Ayahanda dengan iming-iming yang mungkin tidak sanggup saya penuhi.
Tapi, mengingat siapa saya, maka satu-satunya cara ampuh
adalah ikhlas menerima nasib saat digirng meneju lembah atau lahan luas yang
diapit bukit-bukit. Karena apa pun yang akan dan telah terjadi memiliki hikmah
dibaliknya. Siapa yang tahu rencana Allah? Butuh pengorbanan, ketekunan, juga
kesabaran.
Article by: Royyan Paice Sangwenang
0 Komentar