“ Di Ujung Mata Sayu “

“ Di Ujung Mata Sayu “

Karya: Royyan Paice Sangwenang
(Tulisan menjadi juara 2 lomba menulis surat cinta untuk Nabi yang diadakan oleh mengkajipribadinabi.com)

image: islamidia.com


Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Wahai utusan yang membawa kabar gembira ...

Ya Akhirul Anbiya’ Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, aku penuhi malam yang gelap gulita ini dengan menatap lekat diri ini pada cermin. Berapa lama lagi aku harus menahan rasa rindu di hati ini untuk menatap wajah yang tidak pernah sedetik saja aku melihatnya, tidak mengapa jika itu hanya mimpi. Tubuh ringkih ini bergetar saat aku akan menggoreskan tinta pada hamparan kertas putih di depan mata yang kini tampak sayu.

Rasa pilu ini terus menderu menyatakan rasa hina yang selalu aku bebankan di atas kedua pundak yang seharusnya tidak aku salahkan. Aku tidak bisa menyebut diri ini sebagai manusia, aku merasa hina, sangat hina, tapi aku tidak sudi disandingkan dengan binatang dan iblis yang tidak memiliki sesuatu yang aku punya. Tidak pernah terbayang di pikiran ini, rasa itu tetap melekat di hati yang setidaknya masih memeberikan segenap cahaya Ilahiyah pada gadis dengan jilbab hitam berenda ini.

Andai saja doa bisa menolak takdir, maka sudah pasti akan aku bawa sujud merendah segumpal darah ini menghadap sang Rabb Yang Maha Kuasa, dengan harapan mendapat jawaban dari segala yang aku inginkan daripada dirimu Ya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Aku tahu bahwa imajinasi yang aku impikan itu, tentu saja tidak akan selalu membawa kebaikan, dan aku juga tahu bahwa, Allah memberikan apa yang dibutuhkan oleh hambanya, bukan apa yang diinginkan oleh hambanya.

Aku ditikam oleh seseorang yang selama ini selalu diperlakukan bak seorang anak dari darah daging orang tuaku sendiri. Gadis yang sebaya dengan diri ini tidak menyadari bahwa aku yang selalu menjadi sandsack, aku yang selalu menjadi sasaran pembantaian bila gadis yang tadi aku nyatakan jelita itu menang, baik pikiran maupun perilaku. Aku merasakan bahwa mereka, orang tuaku dan gadis dengan wajah jelita itu, sudah berhasil melenyapkan rasa cintaku pada materi dunia yang selalu terlihat dari mata dengan lelehan tangis dan isak air yang terus mengalir, bahkan menjadi semakin deras tidak dapat terbendung hanya dengan menutupnya agar berhenti mengeluarkan hujan yang mungkin saja artinya adalah penyesalan, atau rasa syukur.

Rasanya sangat tidak nyata saat sang Rabb Yang Maha Kuasa menurunkan malaikatnya, Izrail, pencabut segala nyawa yang memutuskan pertemuanmu wahai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dengan ummat yang selalu memendam kepedihan ketika engkau lirih menyebutkan “Ummati, ummati, ummati”. Namun aku menyadari khilaf itu, penikaman mereka, orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik yang terlaknat itu terhadap dirimu jauh lebih kejam dan melebihi batas manusiawi.

Aku tidak mengetahui bagaimana aku tahu, bahwa di tengah setiap malam, hangat air mata yang mulia itu memenuhi bejana malam lengkap dengan bintang-gemintang yang menaungi hati dari indah kilaunya. Wahai junjungan para Nabi dan Rasul yang mulia, sang penutup Nabi dan Rasul yang tercipta, aku tahu bahwa engkau selalu hamburkan doa’a itu memenuhi lisan pada dirimu yang mendapat julukan As-Siddiq. Ikhlas terlihat saat engkau merendah untuk berbicara pada-Nya, pada Allah, Rabb Yang Maha Pengasih tentang kata-kata yang melayang tinggi hingga ‘Arsy-Nya.

Saat aku hendak menggulung siang dan menggelar malam, tempat aku melepas sejenak segala kecintaanku pada segala yang fana, waktu aku menemukan kembali rasa damai dan tentram ketika ujung bibir ini bergeming menghaturkan puji-pujian kepada-Nya Yang Maha Memelihara, mengantaran shalawat ke atasmu wahai sang Akhirul Anbiya’ Muhammad Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Penantian ini terasa sangat panjang , saat akhirnya aku termasuk dalam golonganmu setelah seruan terompet sangkakala menderu memekakkan telinga wahai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Ya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam wa salamun alaik, aku hanya dapat melukiskan wajahmu dengan apa yang aku ketahui saja, bukan dengan segala yang tidak aku ketahui sedikit pun. Mata yang dimiliki dirimu bak lautan luas nan jauh, lisan terpercaya pada manusia paling mulia ini bak iringan gumpalan awan mendung,serta dadamu bak gemericak air sungai yang tenang.

Semakin aku hempaskan tangis ini meluruh, hujan ini memintamu untuk berkunjung menyaksikan segala yang aku rasakan setelah melawati malam yang gelap gulita itu dengan penuh tatapan benci terhadap apapun yang aku pandang. Sudut mata sayu ini menyalak liar menebar tatapan ingin melihat engkau ada disana wahai pembawa kabar gembira lagi menenangkan. Jika saja aku dipertemukan dengan engkau atas izin-Nya, aku ingin menjadi pendengar setia kabar yang tanpa ada sedikit pun kebohongan di dalamnya, lagi-lagi walaupun hanya pada bunga tidur malam nanti.

Jika saja engkau ada di sini, dihadapanku yang beruntung masih mengenakan jilbab hitam berenda, engkau akan tahu bahwa aku mulai gila karena rasa rindu yang setiap detik menikam pemilik hati mungil ini. Ya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, aku hanya ingin engkau mengetahui bahwa aku hanya ingin mendapatkan syafaat daripadamu sambil menatap satu sama lain menghilangkan resah dan gundah yang mengisi diri.

Aku rindu padamu ya Rasulullah…









Posting Komentar

0 Komentar