HARI yang sangat panas. Seekor anjing terbakar kehausan.
Lidahnya menjulur, nafasnya terengah. Ia mengelilingi sumur itu berkali-kali
sambil menatap ke bawah. Ia membayangkan pada cermin lidahnya memanjang
elastis dan menyentuh air sumur yang dalam itu. Tatapanya hampa, harapan
hidupnya pusus. Ia menyadari lidahnya bukan karet dan permukaan sumur sangat
dalam.
Seorang perempuan dari kejauhan memperhatikan anjing yang
malang itu. Ia merasa sangat iba dan akhirnya bergegas turun mengambil air
dengan sepatunya. Dengan pelan dan penuh empati ia menyodorkan sepatu berisi
air itu. Anjing yang sangat kehausan itu menjilati air dengan rakus. Iapun
selamat dari lubang kematian.
Dikabarkan, perempuan itu seorang yang berlumuran dosa. Ia
tak lagi memiliki kehormatan. Tapi aksi penyelamatannya itu menyebabkan ampunan
dan kasih sayang Allah mendatangi dan memenuhi hidupnya (Shahih al-Bukhori, IV/130 No. 3321). Di hari kemudian, dalam sebuah
keterangan, perempuan itu pun diganjar surga. (Dalam riawayat lain, pendosa
yang menyelamat anjing itu adalah laki-laki [Lihat, Shahih al-Bukhori, III/111, no. 2363; Shahih Muslim, IV/1761, no. 2244]).
Jika aksi penyelamatan
seekor anjing dapat menyebabkan ampunan dan kasih sayang Allah datang,
bagaimana kalau seseorang menyelematkan hidup 500.000 manusia?
***
Di belahan bumi lain, ribuan tahun berselang, hari-hari
dingin menusuk tulang. Kamp-kamp penampungan di perbatasan Jerman dipenuhi
pengungsi Syiria yang terkoyak. Mereka mengigil kedinginan. Salah satu dari
pengungsi itu adalah seorang bocah tujuh
tahun yang mengalami junctional
epidermolyisi bullosa (JEB), semacam kelainan genetik. Penyakit ini
menyebabkan kulitnya tak dapat berkembang. Lebih dari 80 persen tubuhnya tak
berkulit. Daging-daging yang berwarna merah darah terlihat degang jelas.
Setiap orang memiliki LAMB3, gen yang memproduksi protein
yang bertugas melekatkan lapisan kulit luar (epidermis) dengan lapisan kulit bagian dalam. Namun pada penderita
JEB seperti bocah pengungsi itu, LAMB3 tidak bisa menghasilkan protein sehingga
kulit sangat rapuh dan mudah melepuh. Tentu saja rasa sakit menyayat-nyayati
sekujur tubuh. Penyakit yang sangat merusak ini “hampir saja membutuhnya,” tulis The Guardian.[1]
Michele De Luca, satu dari dari sangat sedikit ahli biologi
sel punca dunia, diminta oleh rumah sakit Ruhr University Jerman menangani
masalah ini. Perempuan yang mengajar di University of Medona Italia ini bersama
timnya bertindak cepat. Kulit bocah itu diambil seukuran perangko untuk
dijadikan sampel. Dengan sebuah rekayasa virus genetika gen LAMB3 bocah itu
dapat dinormalkan kembali. Dari seukuran perangko kulit itu tumbuh menjadi 150
cm. Michele menempelkannya pada tubuh sang bocah seperti menjahit perca. Dua
tahun kemudian 80 persen tubuh sang bocah Syria yang menjadi pengungsi bersama
orang tuanya tahun 2013 itu sudah tertutupi kulit luar baru yang kuat dan
elastis. Dia pun selamat dari kematian dan dapat hidup normal.
Prof Cédric Blanpain, seorang ilmuan stem cell dari Free University of Brussels, menggambarkan capaian
Michele ini sebagai contoh paling impresif dalam pemanfaatan stem cell pada manusia sejauh ini. “Tidak banyak penyakit yang mendapatkan
keuntungan dari sains stem cell,” katanya.
“Ini adalah contoh yang sangat indah tentang sesuatu yang tidak terpikirkan
sebelum studi ini. Mengganti dan memperbeiki gen keseluruhan kulit pasian
adalah sesuatu yang sangat mengagumkan.” Di
tempat lain, Claire Higgins, seorang dosen bioengineering
di Imperial College London, menggambarkan percobaan ini sebagai “Sebuah pencapaian besar dan sangat luar
biasa.”
Keberhasilan Michele memberi harapan besar kepada sekitar
500.000 penderitan JEB di seluruh dunia. Lebih dari itu, capaian ini juga
memberi harapan kesembuhan bagi penyakit-penyakit lain yang sampai saat ini
belum bisa tertangani.
Jika penyelamatan seekor anjing saja dapat mendatangkan
ampunan dan kasih sayang Allah, bagaimana jika tindakan penyelamatan atas
ribuan bahkan jutaan manusia?
Junctional epidermolyisi bullosa (JEB) |
MSI ingin mengajak siswanya berpikir tentang bagaimana
dapat berkontribusi bersama-sama ilmuan di berbagai belahan dunia untuk
mengatasi berbagai jenis penyakit yang diderita manusia, atau membuat berbagai
peralatan atau teknologi yang memberi kemudahan dan kemanfaatan bagi umat
manusia. Pada saatnya nanti, hrapannya, mereka akan menjadi pemberi
solusi—bukan pencipta masalah—bagi bukan hanya umat Islam, tapi juga manusia di
seluruh dunia.
Rekayasa genetika, misalnya, masih menyisakan banyak
masalah. Ada penyalahgunaan, ada laku serakah yang menelikung di simpang jalan
pengetahuan, lalu bukan manfaat yang datang, tapi mudarat. Tapi, mereka sebagai
pelajar tidak bisa hanya mengeluhkan keadaan. Mereka pada saatnya harus ikut
menjadi pemain aktif: saintis yang sadar akan tugas utama manusia sebagai
kekhalifahan yang membawa kebaikan dan kedamaian bagi dunia, bagi manusia dan
alam semesta. Jika kesadaran ini tumbuh, maka sains dan teknologi ke depan
tidak lagi diracuni oleh nafsu kapitalisme yang tak peduli keselematan dan
kabaikan semesta.
Maka bersiaplah mulai sekarang!
Dan
gunakanlah apa saja
yang kamu miliki (termasuk keahlian) di jalan Allah. Jangan jerumuskan dirimu dengan tanganmu
sendiri dalam kehancuran.
Berbuat baiklah, sungguh
Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.
–
QS al-Baqarah/2:
195
Jamaludin Abdullah,
Pengasuh Madrasah Sayang Ibu
Lombok NTB
[1] Detailnya bisa lihat: https://www.theguardian.com/science/2017/nov/08/scientists-grow-replacement-skin-for-boy-suffering-devastating-genetic-disorder. Juga diliput Kompas, Rabu
15 November 2017, h. 14. Liputan khusus kasus ini dimuat di jurnal Nature,
November 2017, tapi dapat diakses dengan berbayar.
0 Komentar