AGTC : CERITA TENTANG ANAK-ANAK KITA YANG BELAJAR BERJALAN DI MUKA BUMI
Oleh: AS Rosyid, guru pendamping Program AGTC
Tiada yang lebih mendewasakan selain
perjalanan jauh yang direncanakan sendiri. Perjalanan semacam itu tidak dijamin
oleh siapapun: tidak ada layanan antar jemput yang jelas, tidak ada yang akan
memberi makan cuma-cuma, tidak ada yang menyilakan sang pejalan tidur di tempat
yang nyaman. Semua kemungkinan bisa terjadi: tertinggal angkutan, kehabisan
dana makan, atau terpaksa tidur di emperan.
Sang pejalan harus berhemat. Sang pejalan
harus merencanakan perjalanannya dengan matang dan berdisiplin. Sang pejalan
harus pandai menakar kemampuan finansialnya, kebutuhan perjalanan, dan
kehendaknya untuk berbelanja. Bisa saja sang pejalan mengambil manfaat dari
hubungan pertemanan atau kekeluargaan, sehingga ada yang memberinya makan
cuma-cuma dan tempat beristirahat. Tapi untuk itu ia harus tahu etiket sosial.
Ia harus tahu batas, ia harus tahu diri, ia harus tahu cara berterima kasih,
cara membalas budi, atau cara menghargai. Itu adalah bagian dari pelajaran
hidup yang dikembangkan para pejalan. Ia juga harus belajar berbaik sangka pada
orang-orang yang ia temui di jalan, sekaligus belajar berwaspada.
Tentu saja hikmah-hikmah itu belum termasuk hikmah lain yang tidak kalah penting: berjalan memungkinkan kita mengamati dunia, mempelajari cara hidup dan nilai dari berbagai suku bangsa, dan menemukan hal-hal baru yang bermanfaat.
Mungkin karena perjalanan selalu penuh dengan
hikmah itulah, Al-Qur’an sampai penuh dengan taburan kata “berjalan”. Di antara
ayat-ayat al-Qur’an yang paling sesuai dengan Program Aliyah Goes to School
adalah:
“Katakanlah, "Berjalanlah di bumi,
maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian
Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 20)
“Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman 31: Ayat 19)
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari
manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman 31: Ayat 18)
“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di
bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat
mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj 22: Ayat 46)
“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu
sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 137)
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini
dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan
tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS.
Al-Isra' 17: Ayat 37)
“Katakanlah (Muhammad), "Berjalanlah
kamu di Bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat
jahat pada komunitas mereka sendiri.” (QS. An-Naml 27:
Ayat 69)
AGTC (Aliyah Goes to Campus) adalah program
PAMSI yang mendorong santri tahun terakhir untuk merencanakan dan melakukan
perjalanan untuk mengunjungi, mengamati, dan mengenal berbagai universitas di
Indonesia atau bahkan di dunia. Tujuan utama program ini adalah memberikan para
santri gambaran kongkret tentang dunia perkuliahan, kehidupan kampus, profil
fakultas/jurusan serta ragam matakuliah yang harus ditempuh, dll.
Program AGTC berangkat dari kondisi umum yang
dialami siswa-siswi di Indonesia, yaitu kurangnya pengetahuan tentang
perkuliahan sehingga memperbesar kemungkinan salah jurusan. Kuliah asal-asalan
ini tidak diharapkan oleh PAMSI terjadi pada santri-santrinya. Karena itulah
dalam program AGTC santri harus bertemu dengan setidaknya salah satu akademisi
atau pejabat kampus untuk mendapatkan sosialisasi sederhana. PAMSI yakin aksi
kecil ini akan berpengaruh besar pada santri; setidaknya, mereka tidak memilih
jurusan dengan cara berkhayal-khayal.
Selain itu, perjalanan diharapkan agar
direncanakan dan dipersiapkan oleh santri sendiri. Santri harus menabung dari
bisnis sosial mereka sendiri sehingga terkumpul cukup uang untuk melakukan
perjalanan: bea transportasi, bea penginapan, bea makan. Santri menyusun
itinerary dengan melakukan riset yang cukup panjang. Mereka mencari profil kota
tujuan dan penginapan paling strategis yang jarak darinya ke tempat-tempat
tujuan tidak terlalu jauh (dari situ perkiraan biaya transportasi dalam kota
bisa diprediksi). Mereka mencari tiket transportasi dan penginapan yang paling
murah sekaligus cozy. Mereka juga memperkirakan barang-barang yang diperlukan
bersama-sama dalam perjalanan.
Walhasil, pada Senin, 25 Juli 2022 lalu,
santri kelas 12 (angkatan ketiga) PAMSI berangkat ke Jawa dalam Program AGTC.
Enam orang jumlah mereka, didampingi dua orang guru: Bang Ical dan Miss Arlin.
Tujuan telah ditetapkan: Jogjakarta (UGM, UAD, UIN SUKA), Solo (UNS, UIN Raden
Mas Said), Malang (UIN Maliki, Unibraw, UNM, dan UMM) dan Surabaya (UNAIR, ITS
dan UIN Sunan Ampel). Tentu saja segenap proses persiapan seperti tercerita di
atas telah dilakukan jauh-jauh hari.
Rombongan berangkat menggunakan kapal malam
KMP Oasis dan tiba di Surabaya pada Selasa malam hari. Tentu saja yang terjadi tidak sesederhana
kalimat pertama tersebut.
Tiket kapal rombongan
mestinya berjadwal pukul 13.00 Wita. KMP Kirana, nama kapalnya, adalah kapal
pelesiran yang kabarnya sangat bagus dan nyaman. Anak-anak kita telah mengincar
kapal itu sejak jauh-jauh hari. Di hari Senin, rombongan sepakat untuk bersiap
pukul 10.00 Wita di pesantren dan berangkat ke pelabuhan pukul 11.00 Wita.
Namun, hingga jam sebelas lebih sepuluh menit, anak-anak kita masih berpencar
entah ke mana. Dende Novila belum kembali dari Bayan, ponselnya tidak bisa
dihubungi. Nune Thoriq baru berangkat mengambil banner. Firasat guru pendamping
sudah kuat: sepertinya akan ada pelajaran. Benar saja: rombongan mulai lengkap
dan bisa berangkat ke pelabuhan barulah pada jam dua belas siang. Separuh
perjalanan rombongan masih bisa riang, namun tiba di Gerung sebuah telepon mendadak
datang dari orangtua Dende Ayya. Satu saja perintah telepon itu: “cepetan!
Kapal mau berangkat!” Keriangan tadi berubah jadi kepanikan. Mobil yang
dikemudikan Paman Salam tidak bisa melaju cepat lantaran di depan mobil rombongan
ada rentetan panjang kendaraan beroda delapan. Dengan kecepatan sebisanya,
anak-anak kita tiba di Lembar hanya untuk melihat kapal sudah bergerak pergi,
tepat di depan mata mereka.
Perasaan mereka tentu
campur aduk. Itu terlukis di wajah mereka yang seperti habis ditabrak angin
puyuh. Harapan tak dapat digenggam, kenyataan tak dapat ditanggung. Tapi mereka
harus belajar. Akhirnya keputusan diambil: segera pesan tiket ulang untuk kapal
yang tidak lebih mewah, yang akan berangkat nanti malam. Dari pesan memesan
tiket itu tampak hikmah dari keterlambatan ini: ternyata, beberapa dari
anak-anak kita masih belum mempersiapkan dokumen vaksin mereka dengan baik.
Sebelum bisa membeli tiket, mereka harus mengkonfirmasi beberapa hal ke kantor
kesehatan pelabuhan. Umpama tadi mereka tidak terlambat pun, agaknya sulit bagi
mereka memasuki kapal.
Setelah menunggu di
Jembatan Kembar, di rumah Ayya (orangtuanya menjamu rombongan dengan sangat
baik), rombongan pun berangkat ke pelabuhan dan naik ke kapal dengan selamat.
Perjalanan menuju Surabaya berjalan lancar.
Alhamdulillah, tiba di Surabaya, keluarga dari sahabat karib Miss
Arlin berbaik hati menjemput rombongan dan membawa mereka melakukan tur singkat
di Surabaya malam hari sebelum akhirnya menurunkan rombongan di Terminal
Purabaya, Bungurasih. Di terminal ini, rombongan menginap dan menunggu bus
antar-provinsi menuju Jogja yang akan berangkat pagi hari. Mereka tidur di
kursi, di gelaran banner sebagai tikar dadakan, seadanya. Syukurlah malam itu
tidak terlalu dingin dan banyak nyamuknya.
Paginya, rombongan berangkat menuju Jogja dan menginap sehari saja di sana, di sebuah penginapan tua yang .... Tampak seram, tapi cukup murah. Rombongan juga disambut di beberapa kampus: di Universitas Ahmad Dahlan, rombongan diajak tur keliling lab sains; di Universitas Gadjah Mada, rombongan diterima di Fakultas Teknologi Pertanian sebelum berjalan kaki mengelilingi area kampus. Di UIN Sunan Kalijaga, rombongan mengunjungi Fakultas Syari’ah. Alhamdulillah, di Jogjakarta, rombongan berkesempatan pergi ke Big Bad Wolf, pasar buku terbesar se-ASIA. Jangan pula lupakan jalan-jalan malam di Malioboro.
Setelah melewati malam yang dingin di Kereta Kertanegara, rombongan tiba di Kota Malang pada Jumat sebelum subuh. Dingin menyambut dengan gigit. Keluarga Nune Ahmad mengirim satu mobil untuk menjemput sehingga biaya perjalanan untuk dua Grab bisa dihemat menjadi satu Grab saja. Rombongan turun di masjid kampus Universitas Islam Malang dan setelah salat subuh berjalan kaki ke Asrama Lombok Barat. Bang Ical telah memastikan asrama itu bisa ditinggali selama beberapa hari.
Di Kota Malang, rombongan diterima oleh
beberapa kampus. Seorang profesor di UIN Maliki menyambut rombongan di Pusat
Bahasa UIN selepas Salat Jumat. Sorenya, rombongan diterima oleh Kaprodi Hukum
Keluarga Islam. Esoknya, rombongan diterima oleh Kepala Kantor Bimbingan
Konseling UMM untuk mendapatkan sosialisasi tentang hakikat dan penerapan
kerja-kerja bimbingan konseling di sekolah. Di Universitas Brawijaya dan
Universitas Negeri Malang, rombongan hanya dapat berkeliling kampus untuk
melihat fakultas tertentu yang ingin dituju santri dan melakukan
self-suggestion di sana. Rombongan sempat melakukan tur keliling Kota Malang
dan mengunjungi pembangunan kampung-kampung unik hasil dari berbagai
social-project. Hari Ahad, sejak pagi hingga sorr rombongan berada di Jatim
Park II dan mempelajari dunia flora dan fauna dan melakukan tur di Kota Batu.
Senin pagi, tanggal 1 Agustus 2022, rombongan
berpamitan kepada keluarga besar asrama Lombok Barat dan berangkat ke Kota
Surabaya. Perjalanan dengan kereta ditempuh kurang lebih dua jam dan
diperkirakan rombongan akan tiba di stasiun siang hari, sehingga masih ada
waktu untuk rombongan berkunjung ke kampus UNAIR sebelum berangkat ke
pelabuhan. Naas, saat sedang makan siang, Dende Najla yang memonitor informasi
dari KMP Damai Laut Nusantara mendapati perubahan jadwal kapal yang sangat
mendadak sehingga kepulangan harus ditunda hingga besok malam. Artinya, cost
akan bertambah.
Nune dan dende segera melakukan rapat. Mereka harus mencari penginapan termurah dan merencanakan kegiatan di Surabaya selama hari Selasa. Mereka tidak boleh bersantai-santai di penginapan. Walhasil, hari Selasa rombongan memutuskan mengunjungi kampus ITS (Institute Teknologi Sepuluh November) dan UIN Sunan Ampel. Setelah berhasil melakukan tur kampus di luar rencana, rombongan menyempatkan mampir ke Perpustakaan C2O yang sangat terkenal itu. Barulah, sore harinya, rombongan berangkat ke Pelabuhan.
Alhamdulillah wassyukrulillah, perjalanan ini memberi anak-anak kita beberapa pelajaran besar. Cerita di atas terlalu singkat; bila hendak ditulis lengkap-lengkap, hendaknya tulisan ini berbentuk serial sebanyak 12 tulisan. Pelajaran itu berupa banyak hal: bahkan untuk memastikan rombongan mendapatkan tempat yang nyaman di atas kapal, anak-anak kita menyusun strategi yang cermat. Belum lagi cara-cara mereka menyiasati berbagai kendala mengejutkan yang terjadi di perjalanan. Kekompakan mereka juga diuji.
Tentu saja ada perjalanan mengungkapkan kekurangan mereka. Tidak satu dua kali, mereka
kehilangan konsentrasi dan waspada karena rasa lelah di perjalanan, sehingga keteledoran pun
terjadi. Banner program, yang membuat mereka terlambat ke pelabuhan, hilang tertinggal
di bus antar-provinsi; syukurlah mereka lekas mencetak ulang banner itu di Kota
Malang.
Kekurangan lain mereka
yang terungkap dalam perjalanan ini adalah keluwesan bergaul dengan orang baru.
Di Surabaya, di Jogja, di Solo, di Kota Malang, mereka bertemu dengan
orang-orang yang menyambut dan bersikap baik pada mereka, tapi mereka belum
begitu mengerti etiket sosial lain yang seyogiyanya ditampakkan pada
orang-orang baru di perjalanan. Hal ini menjadi sebuah koreksi juga bagi PAMSI,
yakni agar pada setiap jenis fieldtrip berikutnya, santri wajib dibekali
sesi etiket sosial agar kualitas perjalanan tidak terganggu. Tujuannya, agar
santri mengerti perjalanan menuntut empati yang tinggi agar sang pejalan
menjadi selamat.
Empati adalah seni memahami bagaimana rasanya berada posisi orang lain. Salah seorang anak kita baru memahami empati ini justru ketika kembali tiba di Pulau Lombok. Di Lembar, saat turun dari kapal jam dua belas malam, rombongan diserbu oleh agen travel, ojek dan bahkan buruh angkut barang. Mereka adalah orang-orang yang sedang berjuang mencari rizki, mungkin demi sesuap nasi. Ada anak kita yang tanpa berpikir panjang mengajak salah satu dari mereka bercanda. “Bisa mengantar ke Lotim, nggak, Pak?” Tanyanya. “Bisa, Mas. Berapa orang?” Kang ojek menyambut antusias. Namun, anak kita ini dengan santai berkata: “tapi saya mau ikut teman-teman ke Mataram, Pak.” Mimik dan suara tukang ojek itu langsung berubah. “Jangan main-main, ya, Mas.” Ia sempat keder dikatai begitu oleh rakyat pelabuhan.
Itu sedikit contoh
bagaimana pada dua tiga kasus anak-anak kita kurang mampu berpikir, bagaimana
seandainya mereka berada di posisi orang lain yang membutuhkan atau tidak
membutuhkan sesuatu. Sekadar apresiasi pada manusia lain, berupa senyuman, rasa
terima kasih, penolakan dengan bahasa yang santun, inisiatif untuk tidak
merepotkan, merupakan hal yang sangat penting. Etiket sosial dan empati
mempertemukan kita dengan kawan dan menghindarkan kita dari musuh. Perjalanan
menjadi lebih mudah.
Tentu saja, mudah
tidak sama dengan pintas. Anak-anak kita keluar pulau dengan merancang strategi yang memudahkan
perjalanan, tapi sejak awal mereka telah diwanti-wanti dengan tegas agar tidak menempuh “jalan pintas”. Mereka tidak boleh gampang meminta tolong
pada orangtua dari jauh, bahkan untuk
sekadar merasa santai lantaran berpikir
bahwa “toh,
bila terjadi sesuatu, orangtua saya
pasti menolong”
pun tidak boleh. PAMSI memberi pengertian pada anak-anak
kita (juga
pada orangtua wali) mengenai maksud besar
perjalanan ini. Anak-anak kita sedang belajar. Mereka sedang berlatih.
Alhamdulillah, mereka cukup mengerti dan sukses mengamalkan perjalanan.
Mudah-mudahan pada AGTC berikutnya rombongan
PAMSI bisa melintas semakin jauh, semakin lama, dan disertai persiapan yang
semakin matang. Tapi intinya bukan pada kota-kota tujuannya, melainkan pada
proses pembelajarannya. Apakah pada akhirnya rombongan AGTC berikutnya akan
sampai hingga ke Turki dan Jerman? Ataukah mereka hanya akan sampai ke Jawa
lagi? Mana saja boleh, asal anak-anak kita paham arti dari sebuah perjalanan.
0 Komentar