LIVE IN
PRINGGASELA: KAIN, KAYU DAN MATA AIR
Kami tiba Senin itu, pukul 10 pagi, di kantor desa Pringgasela Selatan. Aku dan Gufron menggunakan sepeda motor; para murid naik dua angkutan ditemani Arlin dan Lesa. Paman Salam mengikuti dari belakang, mengangkut enam siswa dan sejumlah barang di mobilnya. Pringgasela tidak seperti yang kukenang dulu, ketika aku tumbuh besar di sini, di rumah Mbah yang sudah berpulang. Sekarang, desa ini tampak terlalu lapang. Dulu, pohon tegak di sana sini. Memang perubahan adalah sesuatu yang menakjubkan.
Sempat ada kendala:
banyak warga yang tidak siap menjadi orangtua asuh karena khawatir tidak dapat
mengayomi santri dengan baik. Pasalnya, kami datang seminggu jelang perayaan
Maulid, yang di Pringgasela dirayakan lebih meriah daripada hari lebaran. Biasanya
warga sibuk bersiap. Syukurlah para Kepala Wilayah gigih memperjuangkan kami. Pak
Zul, Kawil Kedondong, berjuang hingga H-1 dan mendapatkan 12 rumah untuk seluruh
santri putra. Pak Anggi, Kawil Gubug Lauq, mendapatkan 5 rumah untuk separuh
santri putri. Separuh lainnya diperjuangkan oleh Pak Taufik, Kawil Pancor
Kopong. Jarak antar wilayah ini berjauhan, namun tim guru telah membagi tugas
demi mobilisasi.
Bapak Muzakkir, Kepala
Desa Pringgasela Selatan, menyambut kami dalam sebuah seremoni sederhana. Aku
turut duduk di depan, mendampingi Gufron yang mewakili tim guru memberi
sambutan. Udara panas, tapi kurasa acara itu syahdu. Sesaat lagi aku akan
tinggal di sini. Selama sepekan ke depan, mereka adalah wali bagi kami, para
guru. Mereka akan membantu. Setelah seremoni sederhana, guru mengantar santri
ke rumah orangtua asuh masing-masing, menitipkan mereka secara resmi, satu per
satu. Hari itu, para murid hanya punya satu agenda: berasyik-masyuk dengan
keluarga baru.
***
Orangtua asuhku dan
Gufron adalah seorang ibu yang sangat telaten. Inaq Pao, namanya. Inaq
berbicara dengan nyaring dan berirama, paduan khas logat Pringgasela dan
Masbagik. Saya dan Gufron sampai sungkan karena kami ditawari nasi empat kali
sehari. Kopi dan teh bisa ditawari sepuluh kali sehari.
Sehari-hari di Pringgasela kelabu. Hujan sering datang. Hari pertama, di waktu magrib, kendati hujan, aku dan Gufron tetap pergi mengawasi kegiatan santri di masjid. Dengan motorku, kami pergi menjenguk santri di Pancor Kopong. Pagi biasanya cerah.
Hari Selasa pagi kegiatan pokok santri dimulai. Aku dan Arlin menjemput santri di Pancor Kopong dan membawanya ke Gubug Lauq. Sebagian memilih berjalan kaki sejak pukul delapan pagi. Ternyata mereka suka berjalan-jalan. Santri puteri fokus belajar di sentra tenun. Mereka belajar bersama Bu Sri dan Bu Ida. Santri putera fokus belajar di sentra batik Sasambo, bersama Pak Kusman Jayadi dan Pak Kamar, kakak beradik yang mengelola Seagana. Tim Guru memastikan santri untuk mengikuti pelatihan dengan penuh perhatian. Proses yang menyenangkan itu berlangsung hingga zuhur dan santri kembali ke rumah orangtua asuh. Hujan kembali datang. Santri berkumpul hanya di waktu sore untuk mengisi log book bersama-sama. Selebihnya, daily activity berjalan lancar: sembahyang di masjid, makan siang, istirahat, dan bercengkrama bersama orangtua asuh.
Hari Rabu pagi, aku dan Arlin kembali menjemput santri di Pancor Kopong. Aktivitas utama masih sama: putri di sentra tenun, putera di sentra batik. Sebagian santri putera dikirim ke sentra tenun karena mereka harus bergilir untuk mengikuti pelatihan mencanting di sentra batik Sasambo. Ada kejadian lucu. Aku menemukan lima anak yang ‘kabur’ dari sentra tenun dan malah memboroskan uangnya di Alfamart. Kuminta mereka kembali ke sentra tenun sambil berlari, sekitar 2 kilometer jauhnya. Wajah mereka merah dan sepertinya mereka kapok. Beberapa waktu kemudian mereka harus kembali lagi ke sentra batik Sasambo untuk bergilir belajar mencanting. Mereka memboncengku.
Siang hari kuhabiskan
bersama Gufron di rumah. Inaq Pao selalu menyediakan makanan dan, rasa-rasanya,
kami disuruh makan nasi enam kali sehari, saking telatennya beliau melayani
kami. Sore hari santri putera datang ke rumah untuk briefing. Aku
melawat ke Pancor Kopong, memperhatikan santri puteri, terus hingga isya.
***
Ada yang menarik di
Pancor Kopong. Santri puteri berkeluh kesah tentang guru mengaji di musala
mereka. Ustad muda itu, bagi santri puteri, sering menggoda-godai mereka sampai
risih rasanya. Mereka minta pindah membantu mengajar ke musala lain. Sebetulnya
mudah bagiku untuk menolong mereka, menyediakan beberapa opsi. Tapi aku berpikir
ulang. Untuk apa mereka Live In, kalau mereka harus melulu dilindungi?
Mereka perlu belajar untuk tidak lari.
Maka kududukkan mereka dan berikan pengertian tentang kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Dunia masih kurang ramah pada perempuan, kataku, dan masih ada laki-laki yang suka bercanda mesum. Mungkin saja mereka menemukan itu di kemudian hari, jadi sejak sekarang mereka harus belajar menghadapi tantangan secara kreatif. Kemudian mereka rapat kilat membuat program untuk ditawarkan pada ustad muda tersebut. Bila mereka diberi izin penuh menjalankan program, mereka tak perlu takut digoda-godai lagi. Itu strateginya. Waktu kutawarkan bantuan, mereka menolak. “Kita mau jadi perempuan tangguh,” kata mereka. Aku bertepuk tangan.
Hari Kamis pagi, anak-anak bertandang ke rumah Bapak Nuruddin, seorang pengusaha telur puyuh yang dapat mengubah kotoran puyuh menjadi biogas dan pupuk cair yang sangat baik untuk tanaman. Antusiasme anak-anak dan Bapak Nuruddin bertemu dan menyala. Mereka memimpikan rumah yang tidak perlu membeli gas kompor lagi seumur hidup. Pagi itu mereka belajar kedaulatan pangan. Di waktu Duha, mereka bertandang ke Pabrik Kayu dan Pabrik Bata di Dusun Timba Gerah. Kuantar anak-anak bolak-balik berjalan ke pabrik bata. Inaq Heriani nama pemiliknya: seorang ibu yang kocak. Kurasa aku berhasil menjembatani cara Inaq Heriani berkomunikasi (generasi 70-an) dan para santri (generasi 2000-an). Pertemuan untuk mempelajari proses membuat batu bata bisa berjalan lancar, lucu dan penuh antusias.
Setelah selesai belajar di Pabrik Kayu dan Pabrik Bata, kami mengangkut murid-murid dengan losbak dan pergi ke pemandian mata air Goa Kopong. Mereka sudah lelah berjalan kaki. Di pemandian, mereka mandi sepuasnya, membayar semua kelelahan akibat berjalan kaki. Lucu-lucu tingkah mereka, kuperhatikan. Lewat waktu zuhur, acara mandi-mandi kami selesaikan. Losbak mengantar mereka ke dusun masing-masing untuk beristirahat.
***
Pada hari Jumat tidak
banyak kegiatan tersisa. Santri sibuk mengadakan penelitian lapangan untuk
tugas riset mereka. Kendala muncul di tengah santri putri, karena wilayah
sentra tenun hari itu sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan acara maulid. Mereka
tidak bisa melakukan wawancara dan hanya sedikit saja mendapatkan data. Aku
menemani santriwati di Gubug Lauq mencari data hingga malam hari, sampai acara
pentas seni di Masjid Agung Pringgasela selesai. Santri yang tersebar di Pancor
Kopong dan Kedondong fokus menghabiskan malam terakhir bersama orangtua asuh, family
time. Bahkan kudengar santri di Pancor Kopong bikin rujak bersama. Suasana
ramai di sana.
Sabtu tiba. Ini adalah hari kepulangan kami. Sejak pagi aku sudah bersiap-siap. Barang sudah kukumpulkan. Pukul tujuh, aku dan Arlin menjemput para santri di Pancor Kopong. Kami harus berkumpul di Pringgasela Induk untuk mengikuti acara maulid di Masjid Agung. Santri melihat langsung proses sunatan massal dan acara makan-makan. Perayaan maulid Nabi di Pringgasela sejak dahulu kala lebih meriah dari perayaan hari lebaran.
Lepas dari masjid, santri berjalan kaki ke Galeri Maliki, salah satu galeri tenun terkemuka di Pringgasela. Guru membawa motor. Aku duduk di luar sementara santri belajar di galeri. Kubantu Arlin dengan pihak angkutan yang akan menjemput kami, dan dengan Pak Sekdes, yang nanti akan melepas kami pergi di kantor desa, bakda zuhur. Setelah proses belajar di Galeri Maliki, santri kami antar pulang untuk packing, sarapan dan berpamitan dengan orangtua asuh.
Gufron, Arlin dan Lesa, dibantu Handra yang datang belakangan sebagai videografer, menjemput santri di rumah masing-masing. Aku tidak mengikuti prosesi itu karena harus bolak-balik mengantar santri berkumpul di kantor desa. Suasana haru dan acara pamitan itu tidak bisa dilakukan dengan cepat, sehingga kami terlambat sampai di kantor desa. Aku meminta maaf pada Pak Sekdes. Setelah semua berkumpul di kantor desa, acara perpisahan dimulai. Alhamdulillah kesan desa pada kami sangat baik.
Orangtua asuh Jihad
dan Beno datang ke kantor desa. Anak bungsu mereka sudah menganggap Jihad dan
Beno sebagai kakaknya. Ia menangis tidak ingin ditinggal. Tapi perpisahan harus
terjadi.
Aku, Gufron, dan
Handra pamit kepada Inaq Pao setelah semua santri berangkat pulang ke PAMSI.
Kami diberi hadiah sayur mayur yang sangat banyak, hasil panen di sawah beliau
sendiri. Tak kuasa kutahan tangis—Inaq juga. Rupanya aku cengeng, atau mungkin
yang namanya keluarga tidak butuh hubungan darah. Seminggu di rumah beliau,
saling melayani, saling membantu, itu sudah cukup untuk mengukuhkan hubungan
keluarga.
Mudah-mudahan tahun
depan kami bisa kembali lagi ke Pringgasela. Amin.
0 Komentar