Menjadi Saleh, Menjadi Relevan

 Foto: Canva

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى ٱلزَّبُورِ مِنۢ بَعْدِ ٱلذِّكْرِ أَنَّ ٱلْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِىَ ٱلصَّٰلِحُونَ

Dan sungguh Kami tulis pada Zabur—setelah Kami sebutkan juga dalam Taurat—bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaKu yang berbuat baik (shôlihûn) (al-Ambiya, 21: 105).

Persoalan sebagian besar manusia saat ini adalah kehilangan relevansi. Kesenjangan antar manusia bahkan antar bangsa adalah kesenjangan relevansi. Ada banyak individu, juga bangsa, yang hidup dalam ketiadaan relevansi.  Apa itu relevansi? Kesesuaian apa yang dikuasai atau miliki dengan kebutuhan saat ini. Dunia membutuhkan manusia yang kreatif, misalnya, tapi lebih banyak orang tidak memiliki kemampuan berkreasi tersebut.

Kesalehan adalah kunci mewarisi dan menguasai dunia. Demikian tegas ayat di atas. Apa makna orang atau orang-orang saleh (al-shâlihûn)?

Shâlih (صَالِح) secara bahasa berasal dari kata shalaha (صلَح) atau shaluha (صلُح) yang berarti baik, cocok, sesuai, benar, bermanfaat atau hilang kerusakannya. Maka shalih juga berarti relevan. Ketika dikatakan shaluha al-syai’ (صَلُحَ الشيء) berarti sesuatu itu baik, bermanfaat, sesuai, tepat atau relevan (كَانَ نافعا أوْ مُنَاسِباً). Maka shâlih/shâlihûn berarti orang atau sesuatu yang baik, tepat, sesuai, relevan, atau yang hilang sisi buruk.

Ketika dikatakan al-Islâm shâlih likulli zamân wa makân, itu berarti bahwa Islam itu universal dan relevan untuk setiap tempat dan waktu. Maka kesalehan berarti sifat amal yang baik, benar, tepat, relevan dan sesuai dengan kebutuhan dan aturan.

Dari kata ini juga muncul kata shalâh (صلاح) yang berarti istiqâmah (استقامة/komitmen). Maka orang shâlih disebut juga mustaqîm (مستقيم), orang yang istikamah. Kata lain adalah shulh (صُلْح) yang berarti damai, mashlahah (مصلحة) kemanfaatan, shalâhiyah (صلاحية) yaitu kesiapan diri untuk memahami atau mengusai suatu keahlian.

Dengan demikian, shâlih atau kesalehan itu bermakna umum, tidak harus orang beriman. Ia bisa saja orang kafir. Maka “seorang kafir yang pandai mengelola bumi dan memanfaatkanya dengan baik,” jelas Syeikh as-Sya’rawi dalam tafsirnya, “bisa saja Allah beri kemampuan untuk menguasai bumi ini.”

Syeikh Mustafa al-Maraghi sejalan dengan pandangan Syeikh As-Sya’rawi di atas. “Dunia itu tidak seperti akhirat,” kata beliau menjelaskan. “Dunia hanya bisa dikuasai oleh mereka yang memiliki kemampuan mengurusnya dengan baik, memanfaatkan berbagai fungsi yang ada padanya, menggunakan kekayaan yang terdapat di atasnya baik yang terlihat langsung maupun yang tersembunyi. Siapa yang memiliki gagasan yang lebih baik, pikiran yang lebih cemerlang, dialah yang menjadi penguasa atasnya, memanen berbagai hasil dan menyingkap berbagai kebaikan yang ada padanya.”

Lebih jauh, masih dalam konteks penjelasan kandungan ayat al-Ambiyâ’ 105 di atas, al-Maraghi menjelaskan ada empat syarat sebuah bangsa dapat menguasai dunia, terlepas mereka beriman atau tidak. Keempat syarat itu secara ringkas adalah: (1) adanya pemimpin dan politisi yang berpengetahuan luas, cerdas, dan berkomitmen pada keadilan dan profesionalisme; (2) memiliki pasukan kuat yang dapat menjamin dan melindungi kemanan rakyat; (3) adanya ahli atau kelompok ahli dalam berbagai bidang yang saling bekerjasama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama; dan (4) terdistribusinya pengetahuan dan keahlian (yang relevan) ke berbagai lapisan masyarakat.

Namun demikian Syeikh al-Sya’rawi tetap mengingatkan agar kita tidak terjebak hanya melihat kemajuan materi saja. Ketaatan pada ajaran agama harus menjadi ruh bagi semuanya. Komitmen menunaikan ibadah mahdah seperti shalat lima waktu, zakat, dll, adalah hal lain yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan begitu kita bisa terhindar dari kerusakan akidah dan kehacuran moral seperti terjadi di berbagai belahan dunia di tengah kemajuan materi yang dialaminya.

Dengan cara pandang inilah kita memahami ayat 7 surat al-Bayyinah (98) berikut: “Sungguh mereka yang (memadukan) keimanan dan amal saleh (karya yang relevan) adalah makhluk terbaik.”

Je Abdullah

Bacaan:

Abu al-Fadhl Jamaluddin, Lisân al-‘Arab, j III (Beirut: Dar Shâdir, tt)

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Washîth, Cet IV (Mesir: Maktabah Li Syuruq al-Dauliyah, 1425), h 520.

Muhammad Mutawalli al-Sya’râwi, al-Khawâthir, j XVI.

Ahmad ibn Mustafâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, j XVII.

 

Posting Komentar

0 Komentar