وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى ٱلزَّبُورِ مِنۢ
بَعْدِ ٱلذِّكْرِ أَنَّ ٱلْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِىَ ٱلصَّٰلِحُونَ
Dan sungguh Kami tulis pada Zabur—setelah
Kami sebutkan juga dalam Taurat—bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaKu
yang berbuat baik (shôlihûn) (al-Ambiya, 21: 105).
Persoalan sebagian besar manusia saat ini adalah kehilangan relevansi. Kesenjangan antar manusia bahkan antar bangsa adalah kesenjangan relevansi. Ada banyak individu, juga bangsa, yang hidup dalam ketiadaan relevansi. Apa itu relevansi? Kesesuaian apa yang dikuasai atau miliki dengan kebutuhan saat ini. Dunia membutuhkan manusia yang kreatif, misalnya, tapi lebih banyak orang tidak memiliki kemampuan berkreasi tersebut.
Kesalehan adalah kunci mewarisi dan menguasai
dunia. Demikian tegas ayat di atas. Apa makna orang atau orang-orang saleh (al-shâlihûn)?
Shâlih (صَالِح)
secara bahasa berasal dari kata shalaha
(صلَح) atau shaluha
(صلُح) yang berarti baik,
cocok, sesuai, benar, bermanfaat atau hilang kerusakannya. Maka shalih
juga berarti relevan. Ketika dikatakan shaluha
al-syai’ (صَلُحَ الشيء) berarti
sesuatu itu baik, bermanfaat, sesuai, tepat atau relevan (كَانَ نافعا أوْ مُنَاسِباً). Maka shâlih/shâlihûn
berarti orang atau sesuatu yang baik, tepat, sesuai, relevan, atau yang hilang
sisi buruk.
Ketika dikatakan al-Islâm shâlih likulli zamân wa makân, itu berarti bahwa Islam
itu universal dan relevan untuk setiap tempat dan waktu. Maka kesalehan berarti
sifat amal yang baik, benar, tepat, relevan dan sesuai dengan kebutuhan dan
aturan.
Dari kata ini
juga muncul kata shalâh (صلاح) yang berarti istiqâmah
(استقامة/komitmen). Maka orang shâlih
disebut juga mustaqîm (مستقيم), orang yang istikamah. Kata lain adalah shulh (صُلْح) yang
berarti damai, mashlahah (مصلحة) kemanfaatan, shalâhiyah
(صلاحية) yaitu kesiapan diri untuk memahami atau mengusai
suatu keahlian.
Dengan
demikian, shâlih atau kesalehan itu
bermakna umum, tidak harus orang beriman. Ia bisa saja orang kafir. Maka
“seorang kafir yang pandai mengelola bumi dan memanfaatkanya dengan baik,”
jelas Syeikh as-Sya’rawi dalam tafsirnya, “bisa saja Allah beri kemampuan untuk
menguasai bumi ini.”
Syeikh Mustafa
al-Maraghi sejalan dengan pandangan Syeikh As-Sya’rawi di atas. “Dunia itu
tidak seperti akhirat,” kata beliau menjelaskan. “Dunia hanya bisa dikuasai
oleh mereka yang memiliki kemampuan mengurusnya dengan baik, memanfaatkan
berbagai fungsi yang ada padanya, menggunakan kekayaan yang terdapat di atasnya
baik yang terlihat langsung maupun yang tersembunyi. Siapa yang memiliki
gagasan yang lebih baik, pikiran yang lebih cemerlang, dialah yang menjadi
penguasa atasnya, memanen berbagai hasil dan menyingkap berbagai kebaikan yang
ada padanya.”
Lebih jauh, masih
dalam konteks penjelasan kandungan ayat al-Ambiyâ’ 105 di atas, al-Maraghi
menjelaskan ada empat syarat sebuah bangsa dapat menguasai dunia, terlepas
mereka beriman atau tidak. Keempat syarat itu secara ringkas adalah: (1) adanya
pemimpin dan politisi yang berpengetahuan luas, cerdas, dan berkomitmen pada
keadilan dan profesionalisme; (2) memiliki pasukan kuat yang dapat menjamin dan
melindungi kemanan rakyat; (3) adanya ahli atau kelompok ahli dalam berbagai
bidang yang saling bekerjasama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan
bersama; dan (4) terdistribusinya pengetahuan dan keahlian (yang relevan) ke
berbagai lapisan masyarakat.
Namun demikian
Syeikh al-Sya’rawi tetap mengingatkan agar kita tidak terjebak hanya melihat
kemajuan materi saja. Ketaatan pada ajaran agama harus menjadi ruh bagi
semuanya. Komitmen menunaikan ibadah mahdah seperti shalat lima waktu, zakat,
dll, adalah hal lain yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan begitu kita bisa
terhindar dari kerusakan akidah dan kehacuran moral seperti terjadi di berbagai
belahan dunia di tengah kemajuan materi yang dialaminya.
Dengan cara
pandang inilah kita memahami ayat 7 surat al-Bayyinah (98) berikut: “Sungguh mereka yang (memadukan)
keimanan dan amal saleh (karya yang relevan) adalah makhluk terbaik.”
Je Abdullah
Bacaan:
Abu al-Fadhl
Jamaluddin, Lisân al-‘Arab, j III (Beirut: Dar Shâdir, tt)
Majma’
al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam
al-Washîth, Cet IV (Mesir: Maktabah Li Syuruq al-Dauliyah, 1425), h 520.
Muhammad Mutawalli al-Sya’râwi, al-Khawâthir, j XVI.
Ahmad ibn Mustafâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, j XVII.
0 Komentar