Outing Akbar 2025: Membaca Ayat-Ayat Alam di Balik Kabut Suranadi

Embun masih menggantung tebal di pucuk-pucuk daun beringin saat rombongan Nune Dende merapat di Aik Ranget, kawasan hutan Suranadi yang lembap. Senin, 15 Desember 2025, menjadi pagi yang menandai dimulainya petualangan tiga hari menempa fisik dan logika. Di barisan depan, Bapak Pimpinan dan Ibu Direktur tampak hadir mendampingi langsung, memastikan setiap derap langkah Nune Dende dan guru tetap berada dalam koridor filosofi pendidikan pesantren yang membumi. 

Nune Dende belajar tentang hutan dan sumber mata air di Aik Ranget (Foto: PAMSI) 

Kehadiran sosok Pimpinan Pesantren Alam Sayang Ibu di tengah rimba ini menjadi penanda bahwa Outing Akbar bukan sekadar agenda pelesir tahunan, melainkan sebuah laboratorium terbuka. Di bawah naungan pohon-pohon rimbun yang menyelimuti tanah Lombok Barat, deretan tenda dome warna-warni mulai tegak berdiri. Tak ada dinding asrama yang kokoh di sini, hanya selembar kain parasut tipis yang membatasi para santri dengan liar dan sunyinya hutan Suranadi.

Tadabbur alam dimulai dengan langkah-langkah berat menyusuri aliran sungai. Alas kaki mereka basah kuyup, sesekali tergelincir di atas bebatuan licin demi mencapai hulu mata air. Di titik itulah, para santri dipaksa berhenti dan mengamati. Mereka membedah kondisi lingkungan melalui kacamata sains, sosial, hingga nilai-nilai uluhiyah yang terintegrasi, langsung di bawah pengawasan para pendamping dan pimpinan. 

Di sela-sela observasi tersebut, Ustadz Jamaluddin menekankan esensi dari kegiatan ini. "Seorang santri tidak boleh gagap melihat fenomena. Mereka harus mampu membaca ayat-ayat Allah yang tersirat di rimbunnya pepohonan, sekaligus membedah logika berpikir sains di balik lingkungan sekitar. Outing ini adalah jembatan agar tauhid tidak berhenti di lisan, tapi mendarat di bumi," tegasnya di hadapan para santri. 

Nune Dende mengikuti ujian SKU Pramuka bersama Bapak Pimpinan (Foto: PAMSI) 

Di bawah naungan pohon-pohon purba, mata mereka nanap memerhatikan jenis tumbuhan. Mereka mencatat anomali, membedah struktur flora, hingga mewawancarai warga tentang bagaimana manusia di hulu memperlakukan sumber kehidupan tersebut. Ini adalah praktik nyata atas teori yang selama ini hanya tersurat di balik kakunya buku pelajaran.

Penelusuran berlanjut membelah petak sawah yang menghijau di bawah sengatan matahari. Namun, penat tak lantas berakhir dengan istirahat. Di bawah langit yang bersembunyi di balik awan tipis, hasil observasi langsung diadu dalam presentasi. Argumen meluncur, temuan diuji. Sementara itu, di sudut lain, sebagian santri tampak berjibaku menyelesaikan ujian SKU Pramuka, sebuah syarat mutlak bagi mereka yang mengejar kenaikan tingkat.

Saat malam pertama jatuh dengan hawa dingin yang sedikit menusuk kulit ari, perhatian justru terlempar jauh ke langit. Di bawah arahan ahli astronomi, para santri belajar membaca langit melalui teleskop. Bintang-bintang yang tadinya hanya titik cahaya kecil, malam itu menjelma jadi navigasi peradaban yang penuh nama dan makna dalam benak mereka. 

Nune Dende belajar astronomi bersama Pak Dimas (Foto: PAMSI)  

Fajar hari kedua disambut dengan kepulan asap dari tungku-tungku darurat. Tak ada bunyi desis kompor gas. Para santri belajar bertahan hidup dengan teknik survival, menanak nasi di dalam tempurung kelapa. Aroma nasi matang yang bercampur bau sabut terbakar menciptakan fragmen memori tentang cara purba manusia bertahan di alam.

Setelah urusan perut tuntas, arena berubah menjadi kancah adu ketangkasan. Sorak-sorai Nune Dende pecah saat lomba outbound dan yel-yel digelar, mengguncang keheningan hutan. Gairah itu seolah tak surut meski peluh dan debu sudah melapisi seragam lapangan mereka sejak pagi buta. 

Puncaknya terjadi saat kegelapan total menyelimuti perkemahan. Lampu temaram menerangi panggung pentas seni. Drama, puisi, dan nyanyian bergema di tengah hutan, menyingkap sisi kreatif para santri yang biasanya tersembunyi di balik ketatnya jadwal hafalan di madrasah. 

Nune Dende senam bersama di pagi hari (Foto PAMSI)

Rabu pagi, 17 Desember 2025, sisa kantuk dan gigil diusir dengan senam dinamis. Ritual penutup adalah berenang di kolam alami Suranadi. Gelak tawa pecah saat mereka menceburkan diri ke air yang bening dan menyegarkan, sebuah perayaan atas tuntasnya seluruh rangkaian pengembaraan akbar tersebut.

Sebelum tenda-tenda dilipat, sebuah seremoni sederhana digelar. Hadiah dibagikan, kemenangan dirayakan dengan riuh tepuk tangan. Namun, bagi para pendamping, esensi kegiatan tahunan ini melampaui sekadar trofi. Nilai tertingginya adalah pengalaman langsung yang mereka serap dari tanah, air, dan udara yang menjadi bekal cara berpikir mereka ke depan. 

Saat bus-bus penjemput mulai merayap masuk ke mulut hutan, para Nune Dende meninggalkan Aik Ranget dengan wajah lelah namun mata yang lebih tajam dalam melihat fenomena. Mereka membawa pulang pelajaran hidup yang tak akan pernah mereka temukan dalam ruang kelas yang kaku, sebuah memoar tentang kedekatan antara hamba, alam, dan Sang Pencipta. *


*Humas & Media PAMSI

Posting Komentar

0 Komentar