Kurikulum Bajak Laut

buku jendela dunia (via google image)

Oleh: Jamaludin Abdullah, Direktur Lembaga Pendidikan Sayang Ibu, Lombok, NTB

KENDARAAN Kurikulum 2013 oleng. Lajunya yang kencang dengan gigi lima tiba-tiba dioper ke gigi satu. Suara bising mesin pendidikan mengaung. Para penumpang berteriak—kaget, resah, dan bingung. Suara trompet dan kembang api Tahun Baru pun tak mampu menghapus keresahan. Namun, nun jauh di sana, ada sekelompok kecil yang tetap tenang, tak terpengaruh.

Beberapa waktu sebelumnya penunjukan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, juga menghentak kesadaran dan logika pendidikan Indonesia. Orang cerdas dengan pendidikan paling tinggi di bidang kelautan tidak terlalu sulit didapatkan di negeri ini. Tetapi mengapa seorang Susi yang “hanya” berpendidikan SLTP didaulat menangani perairan Indoneisa yang rumit?
Dalam berbagai seminar, dialog di televisi, diskusi di kelas-kelas, obrolan kecil di kampus dan warung kopi, Susi menjadi pembicaraan hangat. Ada yang berseloroh, “kalau mau sukses Anda tidak perlu sekolah (tinggi-tinggi).” Pembicaraan itu sudah sampai menginspirasi orang untuk mengabaikan pendidikan formal. Suara mempertanyakan kredibilitas lembaga pendidikan formal semakin kencang.

Di tengah kebingungan para guru dan pegiat pendidikan menghadapi zigzag Kurikulum 2013 saya teringat Steve Jobs. Jobs, seperti banyak pengubah sejarah lain, tidak berpendidikan formal mentereng. Tapi dunia mengakui dia lah yang berhasil mendobrak teknologi informasi. Tanpanya komputer, telepon seluler dan industri musik tidak akan pernah mengalami kemajuan pesat seperti saat ini.

Salah satu semboyang Jobs yang membuatnya menjadi champion adalah semangat bajak laut. Di perusahaan Apple yang dia dirikan, setiap orang didorong mengadopsi mental bajak laut. Menjadi bajak laut adalah menjadi pemberontak, berani berbeda dan komit terhadap kualitas. Dia mengibarkan bendera bajak laut di kantornya agar para karyawan dirasuki semangat bajak laut.
James Marcus Bach adalah seorang bajak laut di “samudra” Apple. Pendidikan formal Bach juga hanya sampai kelas sembilan—sama dengan Susi. Dalam bukunya Secrets of Becoming Scholar: How Self-Education and the Pursuits of Passion Can Lead to a Lifetime of Success (edisi Indonesia diterbitkan Kaifa, 2011), dia menyebut diri bajak laut intelektual. “Menjadi bajak laut intelektual,” tulis Bach, “identik dengan mendidik diri sendiri. Saya dengan senang hati menyamun pengetahuan di mana pun saya menemukannya.”

Bach menolak “keangkuhan” sekolah. Tentu “saya tidak bermaksud menghancurkan sekolah,” tegasnya. Tapi “saya hanya ingin melucuti keyakinan yang luas bahwa sekolah adalah satu-satunya jalan memperoleh pendidikan, bahwa siswa terbaik adalah mereka yang dengan pasif menerima pendidikan yang diberikan sekolah.”

Bach menegaskan, para bajak laut intelektual tidak dibatasi oleh disiplin ilmu-ilmu tradisional. Mereka menembus batas-batas tersebut, mengakses ide-ide yang lebih kaya, tanpa batas, membuat mereka suskses di berbagai bidang, berprinsip, teguh dan sulit diintimidasi.

Menjadi bajak laut adalah belajar secara heuristik (menjelajah, melakukan percobaan, mengamati dan menguji secara langsung—hal-hal yang hampir tidak ada dalam sekolah). Mereka belajar berdasarkan dorongan hati, obsesi, atau intuisi.

Susi bisa jadi salah satu contoh sosok bajak laut intelektual. Dia tumbuh dan berkembang dari pengalaman langsung. Kepribadiannya, juga kecerdasan, kepeduliannya pada kemanusiaan, dibangun dari pengalaman hidup, bukan sekolah formal. Tahun 2004, misalnya, saat tsunami Aceh dia membawa dua pesawat kecilnya ke Aceh. “Ini adalah pengalaman personal saya tentang kemanusiaan, cinta, semangat, kepedulian kepada sesama,” cerita Susi pada sebuah media. “Saya waktu itu baru punya dua pesawat kecil untuk angkut lobster. Akan tetapi, melalui tsunami, saya mendapat banyak relasi dan cinta untuk memberi dan berbagi.”

Baru-baru ini dengan berani dia mengeluarkan kebijakan moratorium bagi kapal penangkap ikan berbobot besar. Data-data pencurian ikan di berbagai perairan Indonesia diungkap. Nilainya fantastis, ratusan miliar bahkan triliunan pertahun. Dia menangkap ratusan manusia perahu (nelayan asing) yang ternyata telah mengkoloni pulau-pulau kecil Indonesia sebagai tempat persinggahan dan penjualan ikan curian. Terakhir, dia unjuk gertak dengan menenggelamkan tiga kapal/perahu pencuri ikan.

Susi adalah satu contoh dari sekian orang Indoneisa yang sukses dengan mental bajak laut. Dunia pendidika perlu menjadikan mereka inspirasi. Cara belajar konvesional perlu ditinggalkan. Anak-anak harus diberi sebanyak mungkin kesempatan untuk merengkuh pengetahuan dan membentuk kepribadian melalui pengalaman langsung.

Sebenarnya tak perlu khawatir dengan zigzag Kurikulum, seperti sejumlah kecil madrasah atau sekolah yang hampir tak peduli dengan perubahan kurikulum. Meraka justru merasa Kurikulum 2013 ketinggalam kereta. Mereka bahkan sudah melampuinya, dan tetap menjadi lembaga pendidikan formal. Anak-anak dibiasakan menyusun sendiri kurikulum pembelajaran, menelusuri sumber-sumber belajar yang melimpah dari perpustakaan maupun internet, melakukan eksperimen, meriset, mendisain produk sampai mewujudkannya. Mereka dilatih menjadi bajak laut intelektual. Mereka tidak dipenjara dalam ruang sempit pengetahun dan pengalaman seorang guru.[]

Posting Komentar

0 Komentar