Menyelamatkan Hiu

image via: cliparthut.com
 
Menyelamatkan Hiu

Pesta Ujian Nasional telah usai, tapi berbicara dan bertindak jujur tidak hanya terkait ujian. Kejujuran pada akhirnya adalah aksi penyelamatan kehidupan itu sendiri.

Seorang siswa dari sebuah sekolah pavorit mengabari orang tuanya. "Tadi pengawas memberi tahu jawaban ujian, Bu." Sang ibu terkejut dan, setelah memastikan, segera menelpon kepala sekolah tempat anaknya belajar. Kepala sekolah meradang. Dia menjelaskan bahwa banyak anak juga melaporkan kejadian serupa. Sekolah sesungguhnya sudah memasang kuda-kuda: ujian harus berjalan jujur. Anak-anak juga didoktrin untuk mengedapankan kejujuran dalam ujian. Pengawas juga sudah di-brief tentang semangat, visi dan kebijakan sekolah dalam menghadapi ujian. Namun ternyata nasi tetap menjadi bubur.

Saat tulisan ini mulai dibuat, Lombok Pos (22/5) menurunkan headline mencolok dengan tulisan besar di halaman muka: "Soal UN SMP di NTB Bocor." Ombudsman RI menyebut kebocoran soal UN SMP di NTB sulit dibantah, meskipun Dikpora NTB meragukannya. Cerita pengawas dan temuan Ombudsman ini seolah menegaskan bahwa sebagian (besar?) pelaku pendidikan kita belum cukup punya kepekaan terhadap persoalan mengerikan yang sedang dialami bangsa. Pantauan independen beberapa pihak juga menkonfirmasi hal sama. Para pelaku pendidikan seolah telah “bersepakat,” terpaksa atau tidak—dengan alasan apapun--untuk menjerumuskan bangsa ini semakin dalam ke liang kehancuran.

Persoalan kunci jawaban yang bocor atau pengawas yang “berniat baik membantu” siswa untuk mendapat nilai lulus ibarat permukaan gunung es di samudra persolan pendidikan. “Kondisinya sudah sangat akut, seperti mata rantai setan,” keluh seorang kepala sekolah yang penulis ajak bicara dari hati ke hati. Kondisi tahun ini belum beranjak dari tahun-tahun sebelumnya meski kebijakan baru telah dibuat. Para pendidik di tingkat sekolah/madrasah tak tahu harus berbuat apa. Mereka merasa terjebak, tanpa pernah tahu pasti siapa dan bagaimana jebakan ini terjadi. Ini tak ubahnya multi level keburukan. Semakin bawah semakin besar, dan yang paling rugi adalah ribuan bahkan jutaan anak-anak yang tak menyadari masa depan mereka telah tergadai, digerogoti oleh lembaga yang seharusnya membantu membangun masa depan mereka.

Hemat penulis, setidaknya ada dua langkah mendesak untuk memutus rantai keburukan dunia pendidikan ini. Pertama, pemegang peranan menentukan—pada semua level—harus berhenti bersandiwara. Meminjam istilah mantan Mendiknas, Bambang Sudibyo, perlu “tobat nasuha kolektif” untuk mengatasi benang kusut UN. Para pengambil keputusan harus menyadari bahwa menggadaikan masa depan anak-cucu mereka sendiri sebagai tumbal kejayaan politik sementara dan palsu adalah kezaliman tak terampuni. Langkah penyelesaian awal sebenarnya bisa jadi sederhana: andai tidak mampu mendorong ke arah kebaikan, para pengambil keputusan di bidang pendidikan setidaknya tidak memberi “beban” target, misalnya, nilai minimal. Itu akan cukup membantu para pendidik melakukan yang lebih baik.

Kedua, para pendidik di tingkat lapangan harus berani menunjukkan keberpihakan pada hati nurani mereka. Kecurangan yang sejauh ini sudah diterima begitu saja harus diakhiri. Anda tidak hanya bisa mengeluh terjebak wahai para pendidik! Segera lakukan sesuatu. Beranilah mengambil resiko. Kepalsuan sudah sedemikian merasuk dan nyata, dan Anda adalah benteng terakhir. Hanya tangan Anda yang dapat menyembuhkan kanker ganas yang merusak bangsa ini!

Ketika anak-anak Indonesia diuji secara otentik, hasilnya sangat memilukan dan memalukan. Data PISA terakhir (2012), misalnya, menunjukkan siwa SMP Indonesia menempati urutan dua dari bontot dalam tiga aspek vital: matematika, membaca dan sains—sangat bertolak belakang dengan hasil UN. Sebagai perbandingan, Malaysia dan Thailand masing-masing 12 dan 14 tingkat di atas Indonesia. Lebih detail, hasil uji menunjukkan 75,7% anak Indonesia memiliki kemampuan berpikir rendah dan hanya 0,3 persen yang memiliki kemampuan berpikir tinggi. Mereka, termasuk anak-anak NTB, pada umumnya tidak mempu menyelesaikan masalah yang paling sederhana sekalipun. Mereka juga dianggap mudah terpropokasi, berpikir pendek dan suka mengambil jalan pintas. Kajian ini sejalan dengan kenyataan di lapangan ketika kekerasan antar pelajar, kenakalan remaja dalam berbagai bentuknya begitu menjamur.

Belakangan kita dihibur dengan bonus demografis karena ledakan penduduk pada 2045. Ini sesungguhnya bukanlah angin segar. Bonus tersebut malah dapat menjadi ladang ketidakstabilan sosial karena mencoloknya ketimpangan intelektual. Sebab data PISA tersebut juga berati sinyal buruk: 75 persen bonus demografis berpotensi menjadi beban dan petaka bangsa.

Bersikap jujur agaknya akan menjadi satu-satunya langkah memperbaiki dunia pendidikan kita. Ketidakjujuran sama saja dengan menggunakan data salah mengatasi persoalan. Ibarat seorang yang sedang sakit, jika didiagnosa berdasarkan data palsu hasilnya adalah resep yang salah. Akibatnya sakit tidak hanya akan semakin parah tapi bahkan membawa kematian.

Ada kisah menarik. Ribuan ikan hiu terkapar berjejer di sebuah pantai. Seseorang dengan susah payah menyelamatkan seekor hiu yang bisa ia selamatkan. Seseorang yang kebetulan lewat menegur. “Wahai pak tua, untuk apa menyelamatkan seekor hiu dari ribuan yang terdampar? Bukankah itu tidak akan berarti apa-apa?” Pak tua itu dengan penuh semangat menjawab: “Setidaknya saya bisa menyelamat satu ekor hiu ini. Siapa tahu di kemudian hari seekor hiu ini melahirkan hiu yang banyak dan dapat menggantikan populasi yang mati terkapar.”

Cerita di atas mungkin berlebihan. Tetapi bukankah kita sekarang sedang merasakan bangsa ini tak ubahnya hiu-hiu yang sedang terkapar? Kita, para pelaku pendidikan, harus menjadi sosok penyelamat "hiu-hiu" yang terkapar itu. Jika satu hiu seumpama satu sekolah atau madrasah, maka ketika kejujuran di satu lembaga terselamatkan berati kehidupan sekelompok anak bangsa terselamatkan pula.***

Posting Komentar

0 Komentar