Oleh Jamaludin Abdullah
Pengantar
Meskipun dengan suasana galau, mari kita sama-sama rayakan Hari Pendidikan Nasional ini. Galau? Ya, lah. Bagaimana tidak? Tahun kemarin kita dapat kabar menciutkan lagi: hasil test PISA anak-anak kita masih masuk zone degradasi (baca: merah) dan tidak sampai 0,5% yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, sementara lebih dari 75% sangat rendah. Tahun ini UNDP lebih menyetak, orang-orang kita yang suka baca hanya 0,001 persen! .......... Jadi, wajar kan kalau galau?
Maka ada baiknya kita rayakan Hardiknas ini dengan merefleksi Five Minds-nya Om Gardner. Semoga saja kemampuan belajar anak-anak kita menaik karena kita sadar pentingnya kemampuan berpikir dan, untuk anak-anak, kita berusaha menciptakan suasana belajar yang memicu kemampuan berpikir. Semoga mereka naik tingkat di tahun-tahun yang akan datang. Amin.
Pendahuluan
Gagasan
Multiple Intelligencess (1983)[1]
telah secara revolusioner mengubah cara dunia pendidikan bekerja. Namun nampaknya
Howard Gardner, sang pengagas, belum puas: ia menawarkan Five Minds For the
Future (2007)[2]
yang ia sebut sebagai cara seharusnya seseorang berpikir. Jika dalam Multiple
Gardner berbicara tentang potensi beragam manusia dalam kecerdasan, maka dalam
Five Minds ia berbicara tentang bagaimana memanfaatkan kecerdasan tersebut
secara maksimal untuk kesusksesan masa depan. Gardner mengajukan lima cara
berpikir atau pikiran (five minds)
untuk memanfaatkan kecerdasan dan mengelola dunia yang banjir informasi. Kelima
jenis cara berpikir ini, meskipun beberapa ahli melihatnya lebih sebagai hasil olah
pikir dan intuisi – tidak dibangun atas dasar hasil riset yang kuat,[3]
bagi Gardner merupakan cara berpikir yang mengglobal yang dibutuhkan setiap
orang untuk bisa eksis baik di masa lalu, saat ini, dan masa depan.
Gagasan
Five Minds sejalan dengan Educational Taxonomy Bloom. Bedanya, yang pertama lebih bersifat hirarkis dan
yang kedua efigenetis. Dalam cara pandang lain, Five Minds bisa diperlakukan
sebagai gagasan besar dan Educational Taxonomy sebagai salah satu bentuk
operasionalnya dalam pembelajaran.
Berpikir Disipliner (The
Disciplined Mind)
“Tahun
2000,” cerita Gardner dalam sebuah seminar, “saya ditanya: ‘apakah temuan
terbesar dalam dua ribu tahun terakhir?’ Waktu itu saya menjawab: musik klasik.”
Gardner menjelaskan bahwa dia sengaja menjawab demikian agar media mengutipnya.
Jika saja memberi jawaban biasa seperti roda atau energi nuklir orang-orang
bisa jadi lansung setuju dan mungkin
saja media mengutipnya karena kurang menarik. Tapi jika dia menjawab musik
klasik maka orang-orang akan memberi perhatian lebih dan media akan lebih terdorong
memuatnya.[4]
Jawaban
lebih lengkap sebenarnya yang ingin ia sampaikan adalah disiplin-disiplin
akademik yang selama ini sudah berkembang, yiatu musik klasik, sains, sejarah,
ekonomi. Disiplin-disiplin tersebut sejauh ini disikapi begitu saja apa adanya
(taken for granted), bahkan di dunia
akademik, padahal semua itu telah menghabiskan ratusan tahun untuk merumuskan
disiplin-disiplein seperti sains eksperimental, musik klasik, atau kalkulus.[5]
Dalam
studinya yang ia klaim sangat ekstensif dan masif,[6]
Gardner menemukan bahwa kebanyakan pelajar tidak memiliki cara berpikir
terdisiplin. Sampel yang ia teliti dari berbagai jenis sekolah, baik yang
sekolah biasa maupun yang dianggap maju; dari berbagai bangsa, baik Eropa,
Amerika, maupun Asia. Hasilnya sama, sebagian besar memiliki cara berpikir
tidak terdisiplin.[7]
Berpikir
atau pikiran terdisipilin menurut Gardner adalah suatu cara berpikir mengenai
apa saja yang dibentuk oleh suatu disiplin keilmuan tertentu. Seorang yang
berpikir terdsiplin, misalnya, mengamati apa yang terjadi lalu menghasilkan
klasifikasi, konsep atau teori (sementara), lalu melakukan eksperimen untuk
menguji terori sementara itu. Langkah selanjutnya memperbaharui teori sementara
itu dengan penemuan-penemuan dari eksperimen selanjutnya yang berulang-ulang.
Kemudia dilakukan lagi pengamatan lebih jauh dengan menggunakan informasi baru
dan bisa jadi membuat klasifikasi-klasifikasi baru dan, akhirnya, merancang
eksperimen baru lagi. Seorang pemikir terdisiplin dapat membedakan dengan baik
antara korelasi dan kausalitas.[8]
Gardner
menunjukkan bahwa cara berpikir saintis berbededa dengan sejarawan, sastrawan,
psikolog atau disiplin ilmu lainnya. Setiap disiplin memiliki cara berpikir
tersendiri. Demikian juga dalam pendidikan, setiap profesi atau bidang memiliki
cara belajar tersendiri. Memnijam istilah Lee Shulman, Gardner menjelasnkan
bahwa setiap orang memerlukan signature
pedagogies (pedagogi khas) dalam proses belajar.
Cara
mendidik atau belajar hukum berbeda dengan, misalnya, cara mendidik atau
belajar kedokteran atau desain.[9]
Secara tegas Gardner menjelaskan bahwa pikiran atau cara berpikir terdisiplin
harus sudah dimiliki oleh sesesorang setidaknya di akhir masa remaja atau saat
menamatkan pendidikan menengah. Hal ini jika kita berharap mereka bisa menjadi
akademisi yang ahli dan memiliki satu atau lebih keterampilan khusus jika ingin
bekerja.[10]
Gardner
menjelaskan cukup rinci cara yang perlu ditempuh jika ingin memiliki pikiran
terdisiplin. Namun langkah awal adalah setiap siswa setidaknya diperkenalkan
dengan beberapa disiplin utama, atau dalam bahasa Gardner, ‘daftar pendek
disiplin yang menjadi gerbang memasuki berbagai disiplin,’ seperti sains,
matematika, sejarah dan setidaknya satu bentuk seni.[11]
Satu
disiplin sains memperkenalkan berbagai metode yang dipergunakan dalam berbgai
bidang sains. Satu mata pelajaran sejarah membuka pintu bagi serangkaian
ilmu-ilmu social. Satu jenis seni akan menghatarkan siswa kepada bentuk-bentuk
seni lainnya. Menurut Gardner, tanpa memiliki disiplin siswa akan kebingunan
dalam menghadapai persoalan ril yang dihadapi baik dalam bidang ekonomi,
politk, seni dan lain-lain.[12]
Bentuk-bentuk disiplin tersebut sangat dibutuhkan siswa terlepas apapun profesi
yang mereka terkuni di kemudian hari. Orang yang tidak memiliki bentuk pemikiran
yang beragam akan sulit menentukan pilihan atau ide mana yang dijadikan
pedoman, sumber informasi atau pendapat yang dapat diandalkan. Akibatnya, tegas
Gardner, orang demikian akan sangat mudah tertipu.[13]
Langkah-langkah
yang perlu dilakukan untuk bisa memiliki keahlian berpikir secara terdisiplin
adalah: Pertama, memahami topik-topik
atau konsep utama yang terkait dengan suatu disiplin, meliputi isi (konten)
atau metodologinya. Kedua, alokasikan
waktu yang cukup untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh suatu topik. Ketiga, menggunakan berbagai pendekatan
untuk memahami suatu topik. Misalnya, dengan cerita, logika, debat, dialog,
humor, bermain peran, grafik, video atau film, ide-sikap-prilaku seorang tokoh,
dan lain-lain. Dalam konteks ini cara berpikir terdisipilin bertemu dengan
teori kecerdasan majemuk (multiple
intelligencess). Pelibatan berbagai jenis kecerdasan ini bisa bermakna dua
hal: (a) memungkinkan lebih banyak siswa yang terjangkau (paham) dan, (b),
dapat mendatangkan pemahaman yang benar.[14]
Keempat, rancanglah suatu bentuk
penerapan atas apa yang dipahami dan berikan siswa kesempatan seluas-luasnya
untuk menujukkan pemahamannya dengan berbagai macam cara. “Selama kita menguji
siswa hanya dengan pemahaman otak,” tandas Gardner, “kita tidak bisa memastikan
apakah siswa sungguh-sungguh paham.”[15] Ini sejalan dengan tahapan-tahapan atau
hiratki pemahamn menurut taksonomi Bloom, setidaknya pada tiga tahap awal:
mengetahui, memahami dan mengaplikasikan.[16]
Gardner
sangat menekankan pentingnya kemampuan berpikir secara terdisiplin. Dengan agak
keras ia menegaskan: “Orang yang tidak memiliki cara berpikir terdisiplin pada
dasarnya tidak terpelajar dan tidak ada bedanya dengan orang barbar. Mereka terasing
dan bodoh.”[17]
Berpikir Sintesis (The
Synthesizing Mind)
“Kemampuan
menjalin informasi yang sangat beragam dari resources
yang beragam pula menjadi ke satu-kesatuan yang utuh sangat diperlukan dewasa
ini,” jelas Garder.[18]
Inilah yang dia dimaksud dengan cara berpikir mensitesis (synthesizing mind). Gardner memberi alasan, dalam dua atau tiga
tahun terdapat berlipat ganda pengetahuan dari hasil penelitian namun ada
masalah utama yaitu tidak mudah mengaitkannya. Karena yang diperlukan
sesunguhnya, setelah berbagai temuan itu tersedia, adalah bagaimana mengaitkan
temuan atau pengetahuan yang beragama itu menjadi satu kesatuan yang utuh.
Murray Gell-Mann, seperti dikutip Gardner, menegaskan bahwa yang paling
dibutuhkan dalam abad 21 ini adalah kempuan berpikir yang bisa menyintesis
dengan baik. Seorang pemimpin terlebih lagi memerlukan kemampuan menyintesis
agar bisa mengamnbil kebijakan atau keputusan tepat yang akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat.[19]
Berpikir
sintesis tidaklah mudah. Terdapat “dinding-dinding tebal yang sagat kokoh
menghalangi munculmua kemampuan sintesis,” tulis Gardner.[20]
Jangankan berpikir mensintesis yang membutuhkan wawasan yang luas dalam
berbagai disiplin yang berbeda, berpikir sistematis dalam satu disiplin saja
tidaklah mudah, apalagi dari sudut pandang yang berbeda. Masalahnya menjadi
lebih rumit karena proses belajar setiap orang cenderung domain-specific, dalam konteks tertentu saja dan menolak—atau
setidaknya sulit menerima—generalisasi dan penerapan pada konteks yang lebih
luas. “Hanya sedikit orang, bahkan sedikit sekali lembaga yang memiliki
keahlian menanamkan keterampilan menyintesis.”[21]
Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa belum ada standar cara melatih
pikiran sintesis, cara mengukur ketercapaian dan sebagainya. Namun demikian,
meskipun susah, berpikir sintesis dapat dilakukan. Hal ini karena setiap orang,
terutama anak, memiliki kecendrungan mengaitkan satu hal dengan hali, meskipun
seiring bertambah umur kencedrungan ini berkurang. “Kecuali barangkali,”
menurut Gardner, “para penyair yang terlindung dari pengikirasan hasrat untuk
melakukan metafora.”[22]
Ada
banyak contoh sukses mensitesis yang bisa dijadikan acuan, dalam berbagai
jenis. Misalnya: narasi, yaitu menggabungkan berbagai materi menjadi satu
narasi yang terpadu seperi karya fiksi Tolstoy, War and Peace; taksonomi,
seperti dalam system desimal Dewey yang dipergunakan dalam dunia perpustakaan;
konsep kompleks, seperti teori seleksi alamnya Darwin; metafora, gambar dan
tema yang kuat, seperti pada teori Frued tentang alam bawah sadar; aturan dan
aforisme, seperti “berpikir dulu bertindak kemudian”; perwujudan tanpa kata,
seperti karya lukisan Picasso; teori, seperti teori ekonomi pasarnya Adam
Smith; dan metateori, atau teori dari berbagai teori, seperti tesis-antitesisnya
Hegel.[23][24]
Berpikir
sintesis setidaknya memiliki empat komponen: tujuan, pernyataan tentang apa
yang ingin dicapai; titik awal, ini mencakup ide, gambar, atau bahkan karya
apapun yang dijadikan landasan; pilihan strategi, metode atau pendekatan. Di
sini disiplin pensintesis memegang peranan; dan draf awal atau feed back, dimana penyintesis pada
akhirnya harus membuat draf awal atau bentuk awal dari karya (dalam berbagai
bentuknya) yang akan diciptakan.[25]
Dunia
pendidikan dapat membantu anak-anak untuk memiliki kemampuan mensintesis dengan
memperkenalkan mereka dengan orang atau
tokoh yang sudah melakukan pikiran mensitesis. Mereka juga perlu dibiarkan dan
bahkan didorong untuk bermain imajinasi dengan satu benda, batang pisang
misalnya, dan menghubungan berbagai hal lain sehingga seolah membuatnya menjadi
sesuatu yang lain.[26]
Berpikir Mencipta (The
Creaive Mind)
“Aku
kreatif maka aku ada.” Gardner mengawali penjelasannya tentang pikiran yang
kretif dengan mengutip John Seely,[27]
sebuah ungkapan yang nampaknya diilhami oleh kata-kata terkenal Rene Descartes,
cogito ergo sum (aku berpikir maka
aku ada).[28]
Berpikir
mencipta (creative mind) adalah
pikiran yang mendatangkan suatu yang baru dan dapat diterima meskipun tidak
mudah. Jika suatu ide atau produk terlalu mudah diterima maka ia biasanya tidak
kreatif, tapi jika tidak diterima sama sekali maka itu membuktikan bawa ide
atau produk itu salah.[29]
Sejarah membutikan bahwa manusia pada kenyataannya cendrung bersikap
konservatif dan tidak mudah menerima sebuah inovasi. Galileo Galilea harus
dicerca dan dipenjarakan karena ide barunya. Giordano Bruno bahkan harus
dibakar di tiang gantungan. Johann Sebastian Bach, Vincent van Gogh tidak
banyak menerima penghargaan semasa hidupnya. Frued, Darwin dan Keyness juga
demikian, bahkan lebih parah lagi. [30]
Pikiran
kreatif tidak terjadi keculai seseorang setidaknya memiliki satu disiplin keahlian.
Dan satu keahlian disipilin itu dapat diperolah setidaknya setelah 10 tahunan
menggelutinya. Mozart misalnya pada umur lima belas atau enam belas sudah
menghasilkan musik yang luar biasa, tapi hal itu terjadi karena ia telah mulai
belajar musik sejak umur empat atau lima tahun.[31]
Menurut
Csikszenmihalyi, seperti dikutip Gardner, kreatifitas hanya bisa terjadi jika
produk individu atau kelompok yang dihasilkan dalam seuatu bidang diakui oleh
para ahli dalam bidang terkait sebagai produk yang inovatif, dan, cepat atau
lambat, akan memberi pengaruh yang besar dalam bidang terkait.[32]
Karakter
kreatifias itu muncul justru pada anak-anak. Puncaknya bahkan pada umur lima
tahunan.[33] “Saya tadinya menggambar seperti Raphael,
saya butuh waktu seumur hidup untuk belajar menggambar seperti anak-anak,” tulis
Gardner mengutip kata-kata Piccasso.[34]
“Saya merasa, saya mirip dengan anak yang sedang bermain di pantai dan kadang
senang mencari batu-batu lebih licin atau kerang yg lebih indah dari biasanya,
sementara di hadapan saya ada samudra kebenaran terbentang luas tak terselami,”
tulis Gardner lagi mengutip Isaac Newton.[35]
Maka
pendidik yang terlibat pada masa itu harus terus menghidupkan pikiran dan
kepekaan anak-anak itu. Bagi Gardner sangat menyadari bahwa kelas-kelas harus
mendukung kearah munculnya kreatifitas, bahkan terhadap perbuatan salah yang
produktif pun harus didukung.[36]
Berpikir Merespek (The
Respectful Mind)
Manusia
memiliki kecendrungan yang berurat berakar untuk memciptakan kelompok-kelompok,
menyediakan tanda-tanda khas untuk kelompok-kelompok itu dan memasang sikap
yang dangan positif atau sangat bermusuhan kepada kelompok tetangga dan
kelompok yang lebih jauh. Mengikuti antropolog Claude Levi-Strous, Gardner
menegaskan bahwa pengkotak-kotakan hubungan sosial merupakan ciri umat manusia.
Kehidupan sosial terdiri atas pertukaran tigal hal: kata, barang dan wanita.[37]
Perbedaan
itu bisa melahirkan benci dan cinta, sperti peperangan antar suku atau pernikahan
antar suku. Bila WH Auden mengatakan, “kita harus saling mengasihi atau mati,”
untuk mengkritik sikap bermusuhan yang mengakar antar berbagai kelompok, suku,
agama atau bangsa, maka Gardner melihat bahwa yang lebih realistisk adalah
menunjukkan sikap saling menerima atau bahkan saling menghormati. “Saya lebih
suka konsep respek,” tulis Gardner. “Alih-alih mengabaikan perbedaan, dibuat
jengkel olehnya atau berupaya menumpasnya melalui cinta atau benci, saya
menganjurkan orang untuk menerima perbedaan, belajar untuk hidup bersamanya,
dan menghargai orang-orang dari kelompok lain.”[38]
Sikap
merespek ini, menurut Gardner, sesungguhnya sikap bawaan. Bayi-bayi yang berada
pada satu tempat perawatan, misalnya, akan memberi respon terhadap keadaan
sesama mereka. Bila ada yang menangis atau tergangu, maka bayi lain aka ikut
menangis. Fenomena ini secara psikologis sesungguhnya adalah wujud empati dan
tenggang rasa. Mereka proaktif menghibur bayi lain yang terlihat sedih dengan
memberi mainan atau mengajak main bersama. Meskipun tentu ada juga saat mereka
saling rebut atau berkelahi.[39]
Pada level yang lebih luas sikap merespek harus dicontohkan oleh orang-orang di
sekeliling bayi atau anak-anak: orang tua, saudara dan masyarakat secara secara
bersama-sama.
Dalam
pendidikan, pengembangan individu yang merespek menjadi tanggungjawab besar
disiplin sains sosial, sains humaniora, serta seni dan sastra. Anak-anak juga
perlu didorong membaca buku-buku (di luar buku teks), menonton film, melakukan
permainan dan simulasi di mana hubungan penuh respek antar orang atau kelompok
didemonstrasikan.[40]
Gardner
menunjukkan bahwa sikap respek memberi pengaruh positif, kalau tidak
menentukan, dalam kemajuan suatu individu atau masyarakat. Dia memberi contoh
kasus PARC, atau dikenal juga dengan Paulo Alto Research Center milik
perusahaan Xerox. Sebagai research
content, PARC melahirkan banyak gagasan inovatif. Namun, awalnya, Xerox
sebagai perusahaan besar tempatnya bernaung, tidak memberi ruang atau
pernghargaan yang memadai. Akibatnya hasil-hasil inovasi PARC tidak digunakan
oleh Xerox, sampai akhirnya Apple Computer datang dan melihat nilai besar dari
inovasi dan gagasan PARC. Apple yang kemudian melihat keunggulan dan nilai
penting inovasi PARC, dan mengambilnya untuk diaplikasikan di Apple Computer.
Hasilnya mengejutkan dan membuat Apple Computer menjadi perusahaan dengan
pertumbuhan mencengangkan. Baru setelah menyadari ini Xerox mengubah sikap dan
para petingginya melebur dan menunjukkan respek yang tinggi terhadap mereka
yang berada di dalam PARC. Di belakang hari, setelah respek menjadi budayanya, Xerox
menjadi perusahaan yang sangat sehat dan menguntungkan.[41]
Berpikit Etis (The
Ethical Mind)
Dalam
sebuah presentasinya, Howard Gardner menjelaskan, dalam berpikir etis kata-kata
yang muncul bukan, “bagaiman Howard Gardner seharusnya bersikap terhadap yang
lain,” tapi yang dikatakan adalah, “Saya seorang pekerja, dalam hal ini adalah
guru, penulis, ilmuan dan saya juga seorang warga dari sebuah universitas,
masyarakat umum, negara dan, bahkan, dunia—bagaimana saya harus bersikap?”[42]
Kedua
pernyataan di atas menurut Gardner berbeda 180 derajat; yang pertama lebih
berangkat dari ide tentang hak
sementara yang kedua berangkat dari ide kewajiban.
Bahkan, menurutnya, penting untuk mengetahui kewajiban tapi lebih penting lagi
bagaimana seseorang melakukan sesuatu berdasarkan kewajiban tersebut. [43]
Jadi, berpikir etis mewujud dalam panggilan bekerja dengan sepenuh hati, dengan
cara-cara terbaik dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Pikiran ini
mengkonsepsikan bagimana seorang pekerja bisa mengejar tujuan yang berada di
luar kepentingan pribadinya dan bagaimana warga bisa bekerja tanpa mementingkan
diri guna meningkatkan kesejahteraan bersama.[44]
Etika
mengandung suatu sikap yang pada dasarnya lebih dari sekedar hubungan langsung
yang diwujudkan melalui toleransi, respek dan contoh lain dari moralitas
pribadi. Dalam istilah sains kognitif, etika melahirkan sikap abstrak—kemampuan
untuk mencerminkan secara jelas cara-cara seseorang memenuhi, atau tidak
memenuhi, peran tertentu.[45]
Lima Pikiran dan Taksonomi Bloom
Benjamin
Bloom seperti dijelasan terdaulu membuat semacan rancang bangun syitem berpikir
secara bertahap melalui yang paling sederhana sampai yang rumit. Gagasan Bloom[46] yang kemudian dikenal dengan Taxonomi Bloom
memiliki pengaruh yang sangat luas dan mendalam di dunia pendidikan. Revisi
atas Taksonomi Bloom yang dilakukan Anderson dan koleganya melahrikan beberapa perubahan
dari konsep sebelumnya.[47]
Revisi terjadi pada pada dua hal penting yaitu, pertama, perubahan dari kata
benda ke kata kerja atau dalam bahasa Anderson, dari satu dimensi ke dua
dimensi. Kedua, perubahan terjadi pada dua level tertinggi, dimana awalnya
Sintesis (Synthesis) berada sebelum level Evaluasi (Evaluation) diubah menjadi sebaliknya dan kata Synthesis (sintesis) diganti dengan Create (mencipta).[48]
Gagasan
Taksonomi dan berpikir cukup dekat dengan gagasan five minds, meskipun terdapat
perbedan. Gardner sendiri menjelaskan bahwa perbedaanya dengan Bloom pada
pendekatan. Jika Bloom cenderung hirarkis dimana satu level pemikiran atau
keterampilan harus diselesaikan terlebih dahulu baru meningkat ke jenjang
selanjutnya, sementara Gardner menyatakan pendekatannya lebih bersifat
efigenetis dan mengiktui gurunya, Erik Erikson, dimana semua jenis atau cara
berpikir itu perlu dibiasakan sejak awal pertumbuhan meskipun masing-masing
akan lebih menojol pada masa-masa tertentu pertumbuhan.[49]
Melihat
gagasan Five Minds Gardner dan Taxonomy Bloom bisa menjadi sintesis yang saling
menguatkan. Five Minds bisa diperlakukan sebagai gagasan besar dan Taxnomy
sebagai salah satu bentuk praktisnya dalam pendidikan.[]
Referensi
Anderson, L.W (ed).
Krathwohl, D.R, (Ed.0. Airasian, P.W., Cruikshank, K.A., Mayer, R.E., Pintrich,
P.R., Raths, J., & Wittrock, M.C. A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Rveiew of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives. (New York: Longman, 2001).
Bloom, B. Taxonomy of Educational Objectives, The
Clasification of Educational Goals, Hanbook 1 Cognitive Domain (London:
Longmans, Green and Co. Ltd, 1956).
Boree, C.G. Jean Pigeat (1896-1980), Personality
Theories (Psychology Department
Shippensburg University, 2006). Original E-Text-Site:
http://www.ship.edu/%7Ecgboeree/persontents.html.
Gardner, H. Five Minds for the Future, (Massachusetts: Harvard Business Review
Press, 2007).
Gardner, H. Five Minds
for the Future. Transcript of an oral
presentation at the Ecolint Meeting in Geneva (January 13, 2008), 4.
Diakses 23 Mei 2016, 17:26.
Gardner, H. Frames of Mind: The theory of Multiple
Intelligences (Basic Books, 1983).
Klein, P.D.
Rethinking the multiplicity of cognitive resources and curricular
representations: alternatives to ‘learning styles’ and ‘multiple
intelligences’. Journal of Curriculum
Studies, 35(1), (2003), 45–81.
Krathwohl, D.R. A
Rivision of Bloom’s Taxsonomy: An Overview.
Theory Into Practice, Volume 41, Number
4, Autum 2002 (Ohio: College of Education, The Ohio State University, 2002),
212-218.
Peer, K.S. Five Minds
for the Future: Shaping the Future Through Education. Athlethic Training Education Journal, Volume 9, Issue 1,
January-March 2014.
Russel, B. History Of Western
Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the
Earliest Times to
the Present Day (Londok: George Allyn and Unwin,
1946)
Smith, G.
Thinking skills: the question of generality. Journal of Curriculum Studies, 34(6), (2002), 659–678, dan
Sternberg, R.J. Culture and intelligence. American
Psychologist, 59, (2004a), 325–338.
Starko,
A.J. Creativity in the Classroom: Schools of curious delight, 4th
Edition (New York: Routlege, 1995, 2010)
[1] Gardner, H. Frames of Mind: The theory of Multiple
Intelligences (Basic Books, 1983).
[3] Terlepas dari
gagasannya yang brilian, beberapa ahli meragukan karya-karya Gardner. Smith,
misalnya, melihat Frames of Mind: The
theory of Multiple Intelligences tidak didasarkan atas hasil penelitian
lapangan. Five Minds for the Future sepertinya
juga demikian. Bagi Smith, karya-karya Gardner lebih merupakan hasil intuisi
dan olah pikir (reasoning) ketimbang
hasil riset empirik yang komprehensif. Sampai saat ini bahkan, seperti kritik
Sternberg, belum ada publikasi hasil test secara menyeluruh atas teori ini.
Lihat Smith, G. Thinking skills: the question of
generality. Journal of Curriculum Studies,
34(6), (2002), 659–678, dan Sternberg, R.J. Culture and intelligence. American Psychologist, 59, (2004a),
325–338.
[4] Gardner, H. Five Minds
for the Future. Transcript of an oral
presentation at the Ecolint Meeting in Geneva (January 13, 2008), 4.
Diakses 23 Mei 2016, 17:26.
[5] Gardner, H. Five Minds
for the Future. Transcript, 4.
[6] Klein melihat Gardner
menghindari penggunaan pendekatan psikometrik dalam studinya dan karenanya
membuat orang ragu gagasannya berdasarkan hasil riset langsung. Untuk mendukung
gagasannya Gardner lebih memanfaatkan data-data biologis dan neurosains. Sampai
sejauh ini tak satupun hasil kajian yang dibuat berdasarkan kerangka kecerdasan
majemuk (multiple intelligences).
Lihat Klein, P.D. Rethinking the multiplicity of
cognitive resources and curricular representations: alternatives to ‘learning
styles’ and ‘multiple intelligences’. Journal
of Curriculum Studies, 35(1), (2003), 45–81.
[8] Gardner, H. Five Minds for the Future, 30.
[9] Gardner, H. Five Minds for the Future, 31.
[10] Gardner, H. Five Minds for the Future, 33.
[11] Gardner, H. Five Minds for the Future, 34.
[12] Gardner, H. Five Minds for the Future, 34.
[13] Gardner, H. Five Minds for the Future, 34.
[14] Gardner, H. Five Minds for the Future, 34-35.
[15] Gardner, H. Five Minds for the Future, 36.
[16] Anderson, L.W (ed).
Krathwohl, D.R, (Ed.0. Airasian, P.W., Cruikshank, K.A., Mayer, R.E., Pintrich,
P.R., Raths, J., & Wittrock, M.C. A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Rveiew of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives. (New York: Longman, 2001).
[17] Gardner, H. Five Minds for the Future, 39.
[18] Gardner, H. Five Minds for the Future, 49.
[19] Gardner, H. Five Minds for the Future, 48.
[20] Gardner, H. Five Minds for the Future, 49.
[21] Gardner, H. Five Minds for the Future, 49.
[22] Gardner, H. Five Minds for the Future, 66.
[23] Gardner, H. Five Minds for the Future, 49-52.
[24] Russel menunjukkan
bagaimana para filosof sangat tergantung pada kemampuannya mensintesa berbagai
pemikiran atau gejalan-gejala lingkungan yang mereka amati untuk melahirkan
gagasan-gagasannya baik yang berupa pengembangan dari sebelumnya atau
bener-bener baru. Lihat Russel, B. History Of Western Philosophy and its Connection with
Political and Social Circumstances from the Earliest Times to
the
Present Day (London: Geprge Allyn and Unwin, 1946.
[25] Gardner, H. Five Minds for the Future, 52-54.
[26] Gardner, H. Five Minds for the Future, 69.
[27] Gardner, H. Five Minds for the Future, 79.
[28] Audi, R (Ed). The Cambridge Dictionary of Philosophy…,
225.
[29] Gardner, H. Five Minds
for the Future. Transcript, 10
[30] Gardner, H. Five Minds for the Future, 79-80.
[31] Gardner, H. Five Minds for the Future, 79.
[32] Gardner, H. Five Minds for the Future, 83.
[33] Gardner, H. Five Minds for the Future, 86.
[34] Gardner, H. Five Minds for the Future, 86. Pablo
Picasso adalah seniman terkenal abad 20. Ia melukis dengan berbagai gaya dan
didaulat sebagai salah satu peletak dasar aliran kubus dalam melukis. Meskipun
diakui sebagai salah satu pelukis dunia paling berbakat, banyak karyanya sempat
tidak mendapat penghargaan yang semestinya sampai dia meninggal. Lihat Starko, A.J. Creativity in the
Classroom: Schools of curious delight, 4th Edition (New York: Routlege, 1995, 2010),
63.
[35] Gardner, H. Five Minds for the Future, 86. Newton
seperti juga Piaget adalah sosok naturalis yang menyukai jalan-jalan sambil
mengamati apa saja yang didapat dan itu mereka mulai sejak masih sangat muda
bahkan masik tergolong anak-anak. Lihat, misalnya, Boree, C.G. Jean Pigeat (1896-1980), Personality
Theories (Psychology Department
Shippensburg University, 2006). Original E-Text-Site:
http://www.ship.edu/%7Ecgboeree/persontents.html.
[36] Gardner, H. Five Minds for the Future, 87.
[37] Gardner, H. Five Minds for the Future, 106.
[38] Gardner, H. Five Minds for the Future, 109. Gardner
sendiri menunjukkan apresisasi yang layak terhadap gagasan-gagasan yang lahir
dari pemikir atau budaya dunia di luar Eropa. Meskipun dalam Five Minds for the Future ini, misalnya,
ia hampir tak pernah menyebut pemikir atau pikiran-pikiran abad pertengahan,
yang memberi peran menentukan bagi kemajuan berpikir Eropa Modern, tapi dalam Frames of Mind ia mengutip berbagai
model pikiran atau pemikir dari berbagai peradaban dunia termasuk abad
pertengahan.
[39] Gardner, H. Five Minds for the Future, 109.
[40] Gardner, H. Five Minds for the Future, 117.
[41] Gardner, H. Five Minds for the Future, 119-120.
[42] Gardner, H. Five Minds
for the Future. Transcription, 14.
[43] Gardner, H. Five Minds
for the Future. Transcription, 14
[44] Gardner, H. Five Minds for the Future, 4.
[45] Gardner, H. Five Minds for the Future, 132.
[46] Gagasan ini
sesungguhnya bukan milik Benjamin Bloom seorang, tetapi merupakan hasil kerja sebuah
komite yang melibatkan berbagai ahli dari berbagai universitas terkemuka di
Amerika Setikat. Komite tersebut bekerja selama hampir lima tahun (1949-1953).
Bloom didaulat sebagai ketua dari komite tersebut. Salah satu hasil mereka yang kemudian menjadi buku rujukan yang
sangat klasik yaitu Taxonomy of
Educational Objectives, The Clasification of Educational Goals, Hanbook 1
Cognitive Domain (London: Longmans, Green and Co. Ltd, 1956).
[47] Anderson, L.W (ed).
Krathwohl, D.R, (Ed.0. Airasian, P.W., Cruikshank, K.A., Mayer, R.E., Pintrich,
P.R., Raths, J., & Wittrock, M.C. A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Rveiew of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives. (New York: Longman, 2001).
[48] Krathwohl, D.R. A
Rivision of Bloom’s Taxsonomy: An Overview.
Theory Into Practice, Volume 41, Number
4, Autum 2002 (Ohio: College of Education, The Ohio State University,
2002), 212-218.
[49] Gardner, H. Five Minds for the Future, 165.
0 Komentar