TIANG BENDERA DARI BAMBU
Kami tiba di sekolah itu pada Senin pagi, saat matahari tidak begitu menyengat. Sekolah itu, kenyataannya, adalah rumah warga yang dipinjam teras dan halamannya. Ada sedikit bagian di sebelah utara halaman yang diberi atap dan sedikit dinding dari triplek. Di bawah atap itu berjejer meja, bangku dan rak buku yang jauh dari kata rapi. Ada papan tulis usang terpajang di dindingnya.
Kami mungkin akan merasa terenyuh bila hanya memperhatikan keadaan sekolah ini. Tapi keterenyuhan itu berubah setelah kaki kami sempurna menjejak di tengah halaman sekolah. Murid-murid sekolah itu, yang berseragam merah putih, menyerbu kami. Mereka tidak sungkan. Mereka ceria dan nyaman. Mereka meraih tangan kami untuk bersalaman. Mereka seperti siap memberikan kami ketaatan. Mereka siap belajar.
Kami adalah santri kelas 12 PAMSI. Ini adalah tahun terakhir kami berada di sekolah tercinta. Sekolah yang kami datangi ini adalah sekolah darurat SDN 3 Bukit Tinggi. Letaknya di atas bukit, dataran tertinggi di bukit itu. Untuk menuju ke sana, kami harus menuruni sebuah bukit yang cukup curam, melintasi sungai, dan kembali mendaki ke bukit lain, ke sebuah dusun lain. Dengan berjalan kaki, dari jalan utama di Bukit Tinggi kami menempuh waktu sekitar 40 menit.
Kami datang ke sekolah itu dalam rangka melaksanakan program AGTC (Aliyah Goes to Community). AGTC adalah program yang melatih kelas 12 untuk merancang sendiri sebuah pengabdian ke masyarakat. Kami harus belajar cara mengorganisir sebuah gerakan. Isu yang bisa digarap oleh kelas 12 bisa macam-macam, tidak harus melulu pendidikan. Lewat AGTC kelas 12 bisa menggarap isu ekonomi hingga seni budaya. Ide besarnya, kelas 12 harus paham masalah, tahu cara menyusun hingga mengeksekusi program.
Dengan kata lain, AGTC adalah program yang melatih santri PAMSI untuk terlibat di ruang-ruang sosialnya. Santri belajar menjadi aktivis yang berpikir positif. Santri harus belajar menyalakan lilin, alih-alih mengutuk kegelapan. Harapannya, santri nantinya punya inisiatif sosial yang cukup besar, sejak dini hingga tua, untuk ikut memajukan harkat dan martabat umat, bangsa dan negaranya. Dalam program AGTC santri juga berlatih membuang semua rasa canggung dalam berhadapan dengan masyarakat. Santri belajar untuk mengkomunikasikan ide-ide kemajuan pada masyarakat. AGTC, boleh dikatakan, adalah keterampilan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi: suatu keterampilan yang sangat penting dikuasai oleh anak muda di abad ke-21.
Sebelumnya kami harus memetakan masalah sosial di daerah yang hendak kami tuju. Berminggu-minggu sebelumnya, kami melakukan survei, menemui kepala sekolah dan pemuka desa. Kami katakan kalau kami ingin mengetahui apa yang bisa kami lakukan di desa. Kami ingin mengetahui apa yang desa butuhkan. Mereka mengarahkan kami pada sebuah sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Bangunan sekolah rubuh karena gempa dan belum kunjung dibangun. Pemerintah masih dalam tahap penganggaran dana.
Hari itu kami tiba dengan haru. Kami melihat adik-adik bersiap untuk upacara. Tidak pernah kami melihat upacara seriuh itu. Mereka, anak-anak dari dusun terpencil, hadir hanya dengan berbekal seragam merah putih. Sebagian dari mereka tidak bersepatu. Tidak semua anak memakai topi dan dasi. Beberapa dari mereka terlambat dan masuk barisan dengan kacau. Tapi para guru tidak mengeluh. Para guru dengan seragam cokelat yang bersahaja itu tetap sabar membimbing dan mendorong anak-anak itu agar bersedia menjadi petugas upacara.
Setelah keriuhan kecil dalam memilih petugas upacara, upacara pun dimulai. Semua orang khidmat. Bendera dinaikkan pelan-pelan di atas tiang yang terbuat dari sebilah bambu. Sesederhana itu upacara bendera di sekolah darurat SDN 3 Bukit Tinggi. Tapi yang sederhana itu meninggalkan kesan yang sangat kuat dan indah pada kami.
AGTC berlangsung hingga hari Sabtu. Kami datang dengan persiapan yang matang. Kami ingin memberi anak-anak di SDN 3 Bukit Tinggi pengalaman belajar yang sama dengan pengalaman yang kami peroleh di PAMSI saat kami masih MTs dulu, yaitu dengan konsep “2 + 2 + 1” (dua hari mempelajari teori, dua hari praktikum lapangan, satu hari presentasi). Temanya tentang lingkungan hidup, dengan project membuat eco-brick dan filtrasi air.
Di hari pertama kami merasakan kesulitan untuk menyederhanakan bahasa saat mengajar. Ternyata, mengajar itu tidak mudah. Untunglah Bang Ical, guru pembimbing kami, sigap memberi contoh. Bang Ical mampu dengan luwes memberi pengertian pada siswa kelas 3 SD perbedaan biotik, abiotik, dan ekosistem. Bang Ical tidak melakukannya di dalam kelas, tapi mengajak siswa keluar kelas dan berjalan-jalan di pinggir bukit, sambil menyentuh semua benda yang ada di sekitar: batu, pagar, tanaman, ayam, dll. Bahasa yang digunakan Bang Ical juga mudah dan sederhana.
Di hari berikutnya, hingga hari terakhir kami mengabdi di sana, kesulitan sudah tidak ada. Anak-anak menjadi sangat akrab dengan kami. Itu memudahkan kami mengajar. Apalagi saat praktikum, saat kami pergi ke sungai yang sangat jernih, kami belajar sambil bermain. Bagi anak-anak SDN 3 Bukit Tinggi, itulah pertama kalinya mereka belajar dengan sangat menyenangkan dan seru. Ini juga pengalaman pertama kami mengajar selama seminggu penuh. Tidak kami sangka, sekolah dengan tiang bendera dari bambu itu memberi kami kenangan yang sangat baik.
Hari Jumat, kepala sekolah kami datang dalam acara perpisahan antara kami dan sekolah. Beliau berterima kasih pada SDN 3 Bukit Tinggi telah memberi kami kesempatan untuk belajar mengajar. Hari Sabtu, kami diundang oleh sekolah untuk ikut tur bersama siswa kelas 6 sebagai tasyakuran karena mereka telah menyelesaikan ujian. Betapa menyenangkan!
-
Kunjungi dan ikuti laman sosial media kami pada link dibawah ini:
Pesantren Alam Sayang Ibu, The School of Life
0 Komentar